Jumat, 08 April 2011

Hari H

Semua sudah siap. Tanggal dan tempat, yang biasanya paling sulit untuk ditentukan, sudah ditetapkan. Jasa boga pun telah dipesan dan busana sudah selesai dirancang. Undangan juga telah habis terkirim. Bahkan hiasan janur kuning telah siap dipajang di depan rumah dan jalan. Apalagi yang kurang dari persiapan sebuah pernikahan? Hmmm, sepertinya segala sesuatunya sudah siap.

Ya, sepertinya… Hingga Reda, teman baik Andri menemuiku. “Cuma SMS ini, yang terakhir saya dapat darinya. Setelah itu, HP-nya mati. Terus, ketika saya mampir ke rumahnya, juga sudah kosong. Kemana ya dia?” kata Reda dengan terbata-bata.

Pelan dan seksama, aku membaca sms tersebut. Maaf,aku belum siap. Aku tidak sanggup. Sungguh.

“Kamu belum bilang siapa-siapa, kan?” aku menatap Reda dalam-dalam dengan nada pelan, nyaris berbisik. Padahal hanya ada kami berdua di ruangan ini. Reda tidak menjawab, hanya menggeleng pelan.

“Jangan sampai ada yang tahu. Apalagi Melati dan keluarganya. Biar nanti nggak terjadi kepanikan.”

Reda mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya. “Tapi, kita harus mencari ke mana, ya?” katanya retorik dengan tatapan mata yang kosong.

Sesaat aku terdiam. Gundah dan risau berbaur, membuat diriku tidak mampu berpikir dengann tenang. Andri dan mungkin juga kebanyakan lelaki, sepertinya tidak pernah pintar dalam menangani hal semacam ini.

Aku masih ingat ketika ia masih berumur 10 tahun, berjalan pulang ke rumah dari sekolah dengan wajah penuh isak. Lalu ia pun berkata pada ibunya. “Aku bosan jadi orang baik. Tetap saja sebaik apapun kita, belum tentu dibakin sama orang lain juga. Kalau kayak begitu, lebih baik aku main sendiri, belajar sendiri,” ujarnya dengan sesekali diiringi isakan.

Dari kejauhan, aku menyaksikan kejadian ini. Tampak sesekali ia menyeka air mata. Dari hasil menguping itu, aku tahu Andri suka dengan teman perempuan yang jadi kelompok belajarnya. Namun ternyata teman perempuannya itu tidak mengerti bagaimana harus menanggapi dan memahami rasa suka Andri.

“Ketika aku bilang aku cinta dia, dia malah mentertawakan aku dan pergi,“ katanya sambil mengatur napas.

Kalau saja aku yang menghadapi Andri waktu itu, mungkin aku sudah memarahinya. Lelaki pantang menangis, apalagi karena urusan cinta. Tapi untunglah ada ibunya yang mau menghadapi.

“Kalau kamu bosan menjadi orang baik, malas mencintai orang lain, ya sudah…. Ibu juga bosan dan malas mencintai kamu. Boleh kan begitu?” kata Ibunya sambil menatap lurus ke mata Andri. Saat itu juga, bagai adegan dalam sinetron, ibu dan anak tersebut berpelukan dengan mata yang basah karena air mata.

Tanganku yang sejak tadi menggenggam handphone, terasa bergetar. Sebuah sms masuk. Ayah, maaf aku telah membuat membuatmu malu.Tapi percayalah ini yang terbaik.

Ah, apa-apaan anak ini? Kepada ayahnya sendiri ia harus berbicara melalui sms. Kucoba menghubunginya. “Andri, Ayah mau bicara…”

“Ya, bicara saja…” jawabnya dari jauh. Suara Andri tidak terdengar lirih, bergetar atau penuh ragu. Sebaliknya suara itu terdengar sangat jelas dan cenderung tenang.

“Aku mau bicara, tapi tidak begini. Kita harus bertemu.”

“Aku juga mau bertemu, tapi ayah janji ya, jangan paksa aku menikah ya...“

“Aku janji. Semua itu akan jadi pilihanmu sendiri. Jika memang kamu tidak siap atau tidak mau, yah, jangan lakukan. “

“Ayah di mana? Biar aku yang menemui ayah.”

Begitu banyak ilmu yang ada di dunia ini, tapi tidak ada yang mengajarkan bagaimana memulai, menjaga dan memelihara perkawinan. Aku sendiri gagal dalam perkawinan. Setelah bercerai dengan Riska, ibu Andri, hingga kini aku memilih menduda. Riska, Istriku yang melahirkan Andri, aku tinggalkan karena dia tidak ingin aku menerima beasiswa untuk belajar menulis di Belanda selama 1 tahun. Saat itu sepertinya cuma hanya ada satu jalan yang aku anggap bisa jadi solusinya. Aku jadi berpikir apakah keadaanya akan berubah bila aku mengambil jalan yang lain?

Ahhhh, seandainya saja kita bisa memutar waktu. Mungkin saat itu aku bisa lebih mengutarkan isi hatiku pada Riska dan juga mau mendengarkan dan menerima keinginannya. Seandainya saja kami berdua mau lebih saling berbicara dan mendengarkan. Tapi, entah kemana seluruh kepandaian yang aku peroleh selama berkuliah di fakultas ilmu komunikasi. Bahkan untuk membujuk istriku sendiri, aku tak sanggup.

“Kamu harus pilih, aku atau sekolah menulismu itu”

“Itu bukan pilihan, kamu dan karierku bagai tangan kanan dan kiriku. Jangan minta aku untuk memotong salah satunya…” ujarku tegas

“Tapi mas, banyak orang yang bisa tetap hidup dan sukses dengan satu tangan. Cuma sejauh mana kamu mau melakukannya, itu yang aku tidak akan pernah tahu” ujarnya lirih.

Itulah kalimat yang terakhir kali aku dengar darinya. Saat itu Andri berusia 13 tahun. Sejak itu, sepulang dari Belanda aku hanya bertemu Andri sekali dalam sebulan. Karena ia dibawa Riska ke Pekan Baru, sementara aku lebih memilih mengejar karir di Jakarta.
“Hai, apa kabar ayah ?”

Seorang pemuda berusia 30-an, mengenakan topi softball warna merah dan kaus hitam-kuning berlengan panjang ala seragam softball dilengkapi celana jeans lusuh, berdiri di hadapanku. Kuperhatikan baik-baik putra semata wayangku ini. Sosok bocah yang pernah menangis di depan ibunya sepulang sekolah itu, kini tidak terlihat serapuh yang dulu. Hanya saja sebuah kesedihan mendalam terlihat membersit di matanya.

“Kamu benar-benar tidak mau menikah, ya?” kataku sambil bergeser sedikit dari sofa tempat aku duduk, agar ia bisa duduk di sebelahku. Namun Andri masih saja berdiri di hadapanku.

“Aku tidak akan memaksamu. Tapi, paling tidak beri aku alasan, …”

Sambil membuka topi dan memesan teh hangat ia menjatuhkan dirinya ke sofa. Sekilas tatapannya terlihat kosong. Tapi tak satu helaan nafas panjang sekalipun, keluar dari mulutnya. Aku benar-benar tidak mengerti isi kepala anak ini. Dia masih bisa membatalkan pernikahan di hari H dan tetap terlihat setenang seperti ini. Apa dia nggak pernah berpikir bahwa segala keputusannya ini bisa menjadi penyesalan terbesar dalam hidupnya? Apakah dia nggak memikirkan perasaan ibunya? Apa dia juga nggak memikirkan Melati ? Apakah….?

“Bukan cuma ayah yang butuh alasan. Aku juga mencari alasan kenapa aku harus menikah hari ini. Kenapa tidak besok? Atau tidak usah sama sekali.”

“Mungkin perlu aku ingatkan, bahwa beberapa tahun yang lalu kamu bertemu dengan gadis bernama Melati, yang kemudian …”

“Sudahlah ’Yah! Aku tahu itu. Aku tidak  sedang amnesia. Awalnya aku memang cinta dan ingin menikah dengan Melati. Aku sendiri kok yang mau. Karena aku memang jatuh cinta dengannya, bahkan sampai kini. Tapi aku tetap tidak bisa percaya, kalau hari ini aku akan menikahinya,” ujarnya panjang.

“Kenapa tidak? Toh kamu sudah mencintainya. Begitu juga dia, kurasa…” ujarku berusaha menyelami perasaanya.

Andri terdiam, memegang cangkir teh dengan kedua tangannya, lalu mengusapkan telapak tangannya ke wajahnya.

“Apakah ayah tidak mencintai ibu, ketika menikahinya ?”

“Aku mencintainya. Jika kamu ragu, apakah kamu buah dari cinta, percayalah kami saling mencintai.“

“Lalu apa yang terjadi 13 tahun kemudian? Apa yang menjamin perkawinanku, 13 atau malah mungkin 3 tahun kemudian akan berakhir seperti perkawinan ayah dan ibuku?”
Aku terdiam. Kadang aku merasa sudah terlalu tua untuk urusan seperti ini.Tapi mungkin memang hukum karma tidak pandang bulu dan waktu. “Tidak ada yang menjamin. Tapi bercerai atau bersama selamanya, kelak jadi tidak penting lagi dalam perkawinan,” ujarku pelan. Seakan ada beban penyesalan berat yang berusaha aku buang sejak 13 tahun lalu

“Lalu apa yang penting, Yah?”

“Menurutmu? Apa yang membuat kamu memutuskan untuk menikahi Melati?”

“Aku mencintainya dan tidak terpikir olehku untuk menjalani hari-hari nanti tanpa dia.”

“Lalu,apa yang kamu tunggu ?”

“Aku tidak mau perkawinan kami akan berakhir seperti …”

“Andri, kamu tidak tahu apa yang terjadi di kemudian hari, bila kamu tidak memulainya,” potong aku dengan berusaha menurunkan nada suara. “Walaupun aku bercerai, aku tidak pernah menyesali perkenalan, kisah cinta, perkawinan maupun perceraian yang aku alami. Semua itu lebih baik dari pada aku berada sendirian di kafe ini, menjadi tua, tidak pernah berkenalan dengan seorang gadis, berkencan dan menikahinya.”

Andri terdiam. Waktu menunjukkan jam lima lebih 20 menit. Hmmm, aku pikir masih ada waktu jika Andri mau bergegas mengganti seluruh kostum dengan jas yang bisa saja ia beli di tengah perjalanan. Dalam hati aku terus berdoa dan berharap Andri mengambil keputusan yang terbaik. Yahhh, semuanya mungkin bisa terjadi, mumpung masih ada waktu. Aku,memang ayahnya. Tapi, entah kenapa, untuk kali ini, aku tidak mau ia mengikuti langkahku.

-
Di sebuah rumah, dalam kamar, seorang gadis memandangi cermin dengan wajah resah. Sesekali ia tampak menarik napas. Dari laci meja riasnya, ia mengeluarkan sekotak korek api. Wajahnya tersenyum kecil,namun tampak terasa getir. Ia  mengeluarkan  batang korek api dari kotaknya, satu persatu sambil berkata dalam hati, ”Nikah, tidak, nikah, tidak, nikah……”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar