Minggu, 25 Desember 2011

Abduh Aziz: "Ada Masalah Regenerasi"

Ada segelintir insan film yang menyebutkan FFI hanya "arisan orang film" yang ditayangkan TV. Apa komentar Anda?
Kalau melihat pelaksanaan FFI sebelumnya, saya tidak heran kalau kesannya jadi semacam arisan. Sebab, tidak ada acuan dan parameter yang jelas dalam pelaksanaannya. Tetapi juga harus diingat, kalau kesan tersebut muncul karena pemenangnya berkisar pada nama-nama yang terbatas jumlahnya. Maka, hal tersebut harus dibaca sebagai pertanda bahwa ada problem regenerasi dalam sumber daya film Indonesia. Salah satu 'permasalahan' dalam penyelenggaraan FFI adalah masalah penjurian.
Salah satu permasalahan FFI adalah penjurian. Apa perbaikan yang Anda lakukan?
Berbeda dengan penyelenggaraan FFI sebelumnya, panpel FFI 2011 merancang sistem penjurian baru yang terdiri dari dua tahapan. Dua tahapan tersebut: seleksi awal oleh Komite Nominasi dan Penjurian Akhir oleh Dewan Juri. Dalam tahapan pengumuman nominasi saat ini, Komite Nominasi-lah yang memiliki peranan paling penting. Komite yang terdiri dari 7 Sub Komite yang masing-masing beranggota 3 orang bertugas melakukan penilaian teknis atas unsur-unsur tertentu dalam semua film peserta FFI 2011. Tiga orang anggota Sub Komite sendiri merupakan pekerja film yang memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam bidangnya masing-masing.
Berdasarkan penilaian setiap Sub Komite, Komite Nominasi menetapkan masing-masing 5 nominasi unsur-unsur dalam kategori sebagai berikut: Sutradara Terbaik, Penulis Cerita Asli Terbaik, Penulis Skenario Terbaik, Pengarah Sinematografi Terbaik, Pengarah Artistik Terbaik, Penyunting Gambar Terbaik, Penata Suara Terbaik, Penata Musik Terbaik, Pemeran Utama Pria Terbaik, Pemeran Utama Wanita Terbaik, Pemeran Pendukung Pria Terbaik, dan Pemeran Pendukung Wanita Terbaik.
Sistem penjurian baru itu dianggap lebih adil karena memberi peluang yang sama bagi unsur-unsur teknis yang memang berkualitas untuk dinominasikan sebagai pemenang. Satu kategori lain, Nominasi Film Terbaik, baru akan dipilih oleh Dewan Juri yang nama-namanya bakal diumumkan Rabu, 30 Desember 2011. Komposisi Dewan Juri tersebut nanti merupakan gabungan dari tiga pekerja film anggota Komite Nominasi dengan empat anggota baru yang terdiri dari pengamat film, budayawan, akademisi, dan pekerja film.
Dari sejumlah film yang mendaftarkan diri sejauh ini, apakah memiliki kecenderungan/tren tertentu terhadap film Indonesia?
Dari 41 film yang resmi terdaftar sebagai peserta FFI tahun ini, memang genre terbesar ada pada drama, baru disusul dengan komedi dan action; film horor hanya 1 film. Saya kira tren tersebut akan bertahan hingga tahun depan, tetapi yang lebih menarik lagi adalah keragaman isu yang dibawa oleh film-film tersebut; semakin memberikan harapan bahwa film-film Indonesia di masa depan semakin memperhitungkan cerita sesuai konteks problem kekinian dari masyarakat Indonesia sendiri.
FFI telah memiliki umur yang panjang. Apa relevansi penyelenggaraan FFI di zaman sekarang?Pada konteks itu, saya pribadi melihatnya sebagai peluang untuk membangun kembali festival film Indonesia, bukan sekadar sebagai event masyarakat film semata, di mana acuan, prestasi, dan pencapaian dirayakan dan dimuliakan, tetapi jauh lebih penting lagi adalah menjadikan event ini sebagai perayaan atas “bertahannya” daya kreatif manusia Indonesia dalam menyikapi perubahan lingkungan, baik yang bersifat ekonomis (ditandai dengan peningkatan jumlah produksi dan penonton) tetapi juga yang bersifat social cultural, sebagai forum dialog berbagai gagasan, perayaaan atas perbedaan maupun ruang edukasi bagi publik melakukan refleksi atas jati diri, nilai-nilai kebangsaan maupun persatuan menghadapi tantangan global hari ini dan di masa 

Kamis, 04 Agustus 2011

ine febrianti, "teater itu Asyik"---dimuat juga di maj area.

Ine Febrianti: Teater itu Asyik

August, 4th 2011 |  by  Iwan Setiawan  | 0

Selanjutanya, Ine Febrianti justru malang melintang di dunia teater, dengan terlibat dalam pementasan teater Miss Julie bersama Teater Lembaga, lalu bermain dalam teater opera Primadona Teater Koma, hingga terlibat dalam pementasan teater yang berkolaborasi dengan seniman asal Jepang mementaskan sebuah teater yang berjudul The Whale on the South Sea. Setelah vakum 7 tahun, kini ia kembali mementaskan sebuah monolog, yang ditangani oleh Sitok Srengenge.
Bisa cerita keterlibatan dalam pentas monolog Surti ini?Pementasan akhir Juli lalu sebetulnya adalah pementasan ulang, dari pertunjukan sama yang dipentaskan pada 2010. Waktu itu, Mas Sitok datang dengan membawa naskah monolog tersebut. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengiyakan. Tidak banyak pertimbangan. Kalaupun ada pertimbangan, ya mungkin ada rasa dari dalam hati saya yang tiba-tiba rasanya bergejolak. Mungkin, adrenalin saya kembali terusik. Bukan apa-apa, ini adalah pentas saya yang pertama setelah vakum 7 tahun. Setelah menikah, saya praktis tidak main teater dan hanya aktif di film.
Jadi sempat vakum 7 tahun, ya?Iya, karena saya selalu fokus dalam mengerjakan apa saja. Begitu juga dengan rumah tangga. Saya merasa dunia teater adalah hal yang memerlukan keseriusan tingkat tinggi. Lebih-lebih membina rumah tangga. Namun, ketika menghadapi naskah Surti ini, sebagai anak gunung, saya seperti dihadapkan ajakan untuk kembali naik gunung. Saya tahu akan sulit, apalagi ini monolog. Tapi, saya juga tahu hal ini akan sangat menyenangkan.
Surti ini pentas monolog yang pertama kali buat Anda, ya?Iya, terbilang nekad sebetulnya, karena tingkat kesulitannya sangat berlapis. Pertama, dari segi naskah saja memiliki makna yang sangat mendalam. Dari segi kata-kata, bisa jadi sederhana, bahkan biasa. Tapi, jika dibaca lagi, ada kandungan makna yang mendalam dan beraneka warna. Semuanya harus saya mainkan dengan sangat tepat. Saya mendapat pengarahan untuk membawakan naskah ini dengan penuh intensitas, tapi bukan berarti teriak-teriak. Justru sangat pelan, sehingga kalau saya gagal memainkan dengan baik, dijamin penonton bakal tidur. Untuk itu, saya harus bisa main baik.
Dalam monolog tersebut, setidaknya saya memainkan 10 karakter, dengan 3 di antaranya adalah sebagai burung. Ditambah lagi, naskah ini juga menuntut saya untuk menari. Jujur, saya tidak bisa menari. Namun, karena rajin yoga, sedikit-banyak tubuh saya lebih terbantu ketika mendapat pelatihan-pelatihan tari.
Anda baru saja menyelesaikan pentas malam pertama. Apa komentar penonton?
Banyak yang menonton malam pertama saya, juga menonton ketika pentas ini digelar tahun lalu. Menurut mereka, tahun ini saya jauh lebih baik, lebih rileks. Tapi, saya sendiri justru merasa kurang maksimal. Saya pilek,batuk sehingga vokal saya kurang maksimal.
Apa sih dari dunia teater yang bikin Anda sepertinya sangat excited?Ketika awal keterlibatan dalam dunia teater, saya mendapati bukan sekadar sebuah seni peran yang kemudian dipentaskan. Teater adalah juga sebuah terapi bagi siapa saja, termasuk saya yang memerlukan keseimbangan dalam hidup. Banyak hal tidak kita dapati dalam kehidupan nyata, kita bisa merasakan dalam dunia teater. Saya merasa banyak terbantu karena terlibat dengan teater. Namun, sejalan dengan pendewasaan, saya kini melihat teater lebih sebagai sebuah sekolah yang mengajarkan saya banyak hal. Selama 7 tahun vakum dari dunia teater, saya justru aktif dalam dunia film. Saya terlibat dalam film dokumenter maupun film fiksi.
Wah, setelah pernah jadi bintang film,kini malah bikin film ya. Bisa cerita soal filmnya?Judulnya Tuhan Pada Jam 10 Malam. Saya bekerja dengan kesenangan sebagai penggerak. Begitu juga dengan film ini. Saya tidak berniat untuk ikut festival, bisa ditonton orang banyak, tidak untuk tujuan itu semua. Dalam film ini, saya menjadi sutradara sekaligus penulis.
Ceritanya sederhana, bahwa dalam diri setiap manusia selalu ada tarik-menarik antara kebaikan dan sebut saja sisi lainnya adalah keburukan. Melalui tokoh seorang guru moral yang sangat lurus, kita juga melihat adanya tarikan yang tidak kalah kuat dalam dirinya untuk berbuat sesuatu yang berlawanan dengan sisi kebaikan tersebut.
Bagaimana tanggapan teman-teman yang sudah menonton?
Mereka sih bilang bagus. He-he. Bahkan banyak yang meminta film tersebut untuk dibuat lebih panjang. Namun, saya menolak. Kalau mau buat film, saya memilih untuk membuat film baru.
Jadi, akan ke mana Anda setelah ini? Main teater, bikin film, atau ada hal baru?Saya akan mencoba fokus dan konsentrasi dengan apa yang saya kerjakan sekarang. Saya memilih untuk berada di satu tempat tapi menghasilkan yang terbaik, daripada mencoba banyak hal tapi kehilangan kedalaman.

Selasa, 26 Juli 2011

lovers discourse,

Saya tertarik membeli  DVD film ini lantaran dituliskan bahwa ini adalah sebuah omnibus,-satu film yang berisikan beperti Paris(dan NewYork) i'm in Love atau  genre horor juga ada , yaitu  4bhia. saya suka nonton omnibus,karena sederhana saja,bisa menikmati beberapa cerita, dalam sebuah film.Seperti sebuah permen dengan aneka rasa.

Lovers discourse juga memiliki nilai lebih,karena inilah film omnibus buatan Hongkong yang pertama kali saya saksikan.Satu sisi,saya penasaran.Cerita apa saja yang bakal ada di dalamnya.Sisi lainnya, saya sudah menduga bahwa film yang mengangkat kisah cinta, ditangan sineas Asia,terlebih Hongkong, tidak akan semanis Hollywood atau seromantis eropa.Mohon maaf jika saya sepertinya terlalu mengakimi,berdasarkan pengalaman menonton saya yang belum banyak ini..

Lovers Diiscourse dibuka dengan sebuah hubungan pria-wanita,yang entah sepasang kekasih atau selingkuhan,-yang pasti digambarkan dengan sangat 'biasa', namun hangat dan  penuh keriaan.Mereka bertemu ditengah keramaian,menghabiskan malam bersama, berakhir di sebuah  taman. dengan keadaan teks yang 'datang dan pergi', saya mempu merasakan obrolan yang hangat, kekangenan yang sangat dan cukup buat saya untuk menyimpukan bahwa hubungan mereka sungguh penuh hasrat.Sesekali, interaksi diantara mereka  mengingatkan saya pada film  Before Sunrise, namun Lovers lebih terasa adanya 'chemistry' .Bisa jadi juga karena Eason dan Karena lam mampu memainkan dengan sangat baik.Walau sempat ada adegan cium yang kecil serta pegangan tangan, film ini tidak ingin mengakhiri dengan sebuah kesimpulan.

Sedanfkan cerita kedua, tampaknya sutradara Derek tsang lebih ingin bermain-main.Melalui sosok Kay tse,  seorang wanita penjaga sebuah laundry kiloan yang tertarik pada pelanggan setianya, Eddie pang yang tentu saja  tampan nan rupawan.Setiap kali Eddi datang, kay tampak sangat cuek,kikuk dan melayani sebagai sebuah rutinitas.padahal seusai itu, ia mengumpulkan setiap barang yang tertinggal disaku baju maupun celana,bahkan ia membayangkan menghabiskan waktu bersamanya.


Penggambaran imajinasi Kay, ditransfer dalam sebuah adegan imajinatif yang menampilkan sosok Eddi digantikan  oleh boneka.Kay begitru ekspresif dan cerita serta menikamti setiap kebersamaan bersama eddi,eh..si boneka. Perhatikan adegan ketika Kay membentang selimut dan membayangkania tidur di selimut tersebut.manis,sekaligus menyedihkan.Karena kerikuhan dan keragan,kembali menghinggapi ketika di alam nyata mereka kembali bertemu

Cerita ketiga, ada twist yang menjadi tidak penting lantaran bagusnya permainan tokoh wanita,Kit Chan, yang berperan sebagai wanita separuh baya yang ditaksir oleh teman anaknya.Dengan tatapan mata,gerak tubuh yang sangat minim, penonton dapat menangkap pesan dan rasa yang ingin ditularkan.

Pada bagian ke tiga ini juga keterkaitan antara cerita Idan II serta III mulai ditampilkan.Persimpulan diantaranya tidak terasa 'maksa' harus berhubungan,namun cukup menarik dan beda dengan yang beberapa omnibus yang pernah saya saksikan.

Cerita keempat menghimpun semua cerita,sekaligus menyajikan cerita cinta yang manis sekaligus berbumbu balas dendam, cemburu  dalam bentuk yang lain. oh ya...lagu penutupnya juga bagus banget.Dalam film yan g jauh dari hingar bingar serta penonjolan pada bahasa tubuh serta setting, keberadaan musik sungguh sangat menolang.

Lovers menyajikan kepada kita sebuah film yang bukan saja memuat beberapa cerita, tapi juga menyisipkan sejumlah rasa dalam satu kemasan.Kita tertawa,sekaligus tertegun, juga terkagum dengan kemampuan teknis akting,sinematography bahkan editingnya.Namun bukan berarti tanpa kelemahan.Beberapa motif dalam cerita,masih terasa janggal.Namun bisa dimaafkan,terlebih ini adalah karya pertama dari duet derek tsang dan chi man wan

selamat menyaiksikan...

Senin, 18 Juli 2011

Paquita Wijaya Saya Butuh Penyesuaian,

Paquita Wijaya

July, 11th 2011 |  by  Iwan Setiawan  | 0

Saya butuh penyesuaian.

Paquita Wijaya: Saya butuh penyesuaian Paquita Wijaya: Saya butuh penyesuaian
Bintang film Bulan Tertusuk Ilalang yang disutradarai Garin Nugroho dan penyanyi yang sempat mengeluarkan  3 album dan  terkenal dengan  hits “Dua Manusia” ini, telah hampir 16 tahun vakum dari dunia hiburan. Dosen IKJ yang juga menyutradarai film Nyanyian Seorang Istri dan beberapa acara TV ini juga sempat menjadi perancang busana. Kini, ia kembali ke dunia hiburan dengan sebuah album musik yang mengemas ulang lagu-lagu yang pernah hits di masa lalu. Kemana saja Paquita? Berikut ulasannya.

Bisa cerita mengenai 'come back-nya’ ini?
 
Sebenarnya lebih karena kerinduan pada industri musik. Rentang16 tahun adalah waktu panjang untuk istirahat dan kalau saya tidak melakukannya sekarang, maka mungkin saya tidak akan pernah menjalankannya. Album ini diproduseri oleh Rishanda Singgih, produser dan musisi yang masih sangat muda. Dia punya talenta yang luar biasa dan saya sangat senang bisa bekerja sama dengan Shanda. Kita dibesarkan dengan latar belakang musik yang berbeda dan perbedaan masa inilah yang menjadi tema utama dari album Asa. Kita rencananya akan road show setelah launching pada tanggal 6 Juli ke Jakarta, Surabaya, Bali, dan Bandung.

Kenapa memilh recycle?

 Saya ingin lagu-lagu Indonesia lama  kembali dipopulerkan dengan nuansa yang baru. Menggabungkan lagu-lagu dari era saya dengan aransemen musik dari era Shanda. Kita banyak diskusi soal referensi lagu, apalagi di awal proses album ini. Saya sebenarnya tidak terlalu terbiasa dengan alat musik elektrik karena saya dari dulu lebih banyak bermain dengan nuansa instrumen akustik. Tapi saya sangat menikmati alam digital yang dituangkan dalam album ini. Suasana baru yang menyegarkan.

Kemana saja selama ini ?
 Sebetulnya masih tetap ada di dunia hiburan. Namun memang ‘tidak terdengar’ karena tidak terkena ekspos media. Saya tetap aktif dalam sejumlah produksii film maupun pembuatan iklan-iklan.

Susah nggak kembali  berkarier di dunia musik setelah belasan tahun vakum?
Saya memang perlu melakukan sejumlah penyesuaian. Industrinya juga sudah berbeda. Penjualan sifatnya lebih banyak digital dan bukan fisikal seperti 16 tahun yang lalu. Perlu sadar saja akan kondisi itu.

 Apa yang Anda janjikan dalam album ini?
 Insya Allah enjoyment... It's a chill-out album.

Kegiatan lain di luar penggarapan album ini?
Saya  juga sedang menyiapkan konser amal untuk Yayasan Aids Indonesia, bersama Duncan Sheik (dari Amerika) dan Alexa band  pada 28 Juli di Rasuna Episentrum jam 7 malam-onwards.

Senin, 04 Juli 2011

Catatan Harian Si Boy (mampukah) jadi idola baru ?

oleh iwan setiawan

di muat majalah garuda

FILM

Seperti Indiana Jones, Mas Boy juga perlu diregenerasi. Lewat film Catatan Harian Si Boy, Satrio siap menjadi idola baru remaja.
Berawal dari sandiwara radio, Catatan Si Boy adalah salah satu film remaja tersukses di Indonesia. Sebagai mahasiswa yang digambarkan beriman, baik hati, serta kaya raya, sosok Boy yang dimainkan Onky Alexander melesat jadi idola remaja saat itu. Walau harus diakui, tak semua orang menyukainya. Karakter Boy dianggap kelewat sempurna, sekaligus kontradiktif: anak muda yang rajin beribadah, namun di sisi yang lain gemar bergonta-ganti pacar dan dugem. Terlepas dari cacian, di tangan sutradara (alm.) Nasri Cheppy, Catatan Si Boy meraup sukses besar hingga sempat dibuat empat seri. Karya emas ini juga melambungkan sejumlah aktor dan aktrisnya jadi bintang, sebut saja Meriam Belina, Didi Petet, serta Dede Yusuf.
Setelah dua dekade, sutradara Putrama Tuta menggarap film bertajuk Catatan Harian Si Boy. Nama-nama lawas masih ditampilkan, seperti Didi Petet, Onky Alexander, dan Btari Karlinda, namun Tuta lebih memilih bintang belia sebagai tokoh sentral, seperti Ario Bayu dan Carissa Putri. Tujuan peracikan ini sederhana: melayani penonton senior yang kangen dengan tokoh-tokoh dari Catatan Si Boy, sekaligus menghibur penonton remaja yang lebih akrab dengan wajah-wajah seusia mereka.
Untuk urusan cerita, Catatan Harian Si Boy tidak bersandar pada sandiwara radio, melainkan sepenuhnya menggunakan naskah baru yang ditulis oleh duet Priesnanda Dwisatria dan Ilya Sigma. Cerita dimulai oleh Natasha yang diminta ibunya yang sedang sakit keras untuk menyerahkan sebuah buku harian kepada pemiliknya—Si Boy (Onky Alexander). Di tengah perjalanan, ia bertemu pembalap jalanan bernama Satrio. Tertarik pada Natasha, ia lalu membantunya mencari si pemilik buku harian. Namun, di tengah perjalanan, kisah cinta segitiga berkembang dan melibatkan laga kebut-kebutan di jalan raya. Film ini menampilkan drama cinta dengan tempo cepat, dialog penuh emosi, dan aksi jalanan yang seru.
Tuta mengatakan tokoh utama dalam film (Satrio) berbeda dari tokoh Boy di masa lalu. Ia memiliki jiwa pemberontak, sosok ”bad boy” yang saat ini lebih laris ketimbang pria parlente yang senantiasa tampil manis. Dan seperti Si Boy, ia menggemari mobil mewah, namun suara dan tampilannya lebih galak. Satrio diperankan oleh Ario Bayu yang sebelumnya bermain di Laskar Pelangi, Pintu Terlarang, dan Darah Garuda.
Dalam banyak aspek, keinginan Tuta melepaskan filmnya dari bayang-bayang Catatan Si Boy cukup berhasil. Ia mampu menciptakan sosok anak muda ideal dalam konteks kontemporer, di mana prestasi, kesetiaka-wanan, kesetiaan pada pasangan, dan wajah scruffy dipandang lebih penting. Dan Tuta juga sudah menegaskan Catatan Harian Si Boy bukanlah remake maupun sekuel dari Catatan Si Boy. ”Melalui buku diari milik Boy, saya ingin mengungkapkan betapa Satrio merupakan regenerasi dari Boy, namun dengan sentuhan yang berbeda,“ jelasnya

Jumat, 24 Juni 2011

interview seputar tips menulis dariAgus Noor

Friday, June 24, 2011

Tips Menulis dari Agus Noor

pernah dimuat,maj Area)
Agus Noor
Pentingkan Menulis Ketimbang Pacaran
Sebagai penulis Cerpen,karyanya telah tersebar di sejumlah media.bahkan beberapa telah dibukukan dan mendapat perhatian yang cukup besar dari berbagai kalangan.Beberapa diantaranya adalah Selingkuh Itu Indah,Potongan cerita di Kartu Pos dan yang terbaru Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia. Ia juga menulis naskah lakon panggung, seperti sejumlah pentas Monolog yang dibawakan ‘Raja Monolog” Butet Kartadjasa, Republik Dagelan, Beta Maluku dan yang akan datang, Kartolo Mbalelo.
Karyanya dikenal mampu mengemas persoalan sosial,keseharian bahkan hal absurd sekalipun menjadi sajian yang menyentuh, enak dibaca, beberapa diantaranya malah berhasil memancing tawa.
Dengan Iwan Setiawan, Ia berbagi rahasia dalam melahirkan karya jitu :
Rahasia dalam mencari ide ?
Saya terbiasa mencatat ide-ide yang berkelebatan dalam kepala saya. Sejak punya buku catatan (notes book) yang selalu saya bawa kemana-mana. Di buku itulah, saya mencatat apa saja yang menurut saya menarik. Sebuah kata, kelebatan ide cerita, pembukaan cerita, judul, ending cerita yang saya anggap menarik, sampai sebuah peristiwa dan lain-lain. Saya menganggap itu sebagai: tabungan ide.
Caranya ‘menyulap’ sekelebatan ide menjadi karya hebat ?
Nah, ketika datang waktu menulis, saya “tinggal membuka buku tabungan ide” itu, saya pilah dan pilih, mana yang menarikSaya juga memiliki jadwal menulis yang tetap.
Saya menulis minimal 6 jam setiap hari. Sebulan saya harus menghasilkan tulisan minimal 4. Jadi kalau dalam satu bulan saya menulis di bawah target itu, saya menganggapnya hutang, yang harus saya penuhi di bulan berikutnya
Apa yang saya tulis, mungkin “belum jadi” atau tidak memuaskan saya, tapi setidaknya saya sudah mendisiplinkan diri. Dan tulisan yang saya anggap “belum bagus” itu, akan saya simpandalam file lebih dulu, untuk di waktu yang lain, saya tulis ulang, revisi, kembangkan hingga memuaskan.
Mengatasi ‘macet’ di kala menulis ?
Saya cenderung menganggap itu sebagai “kemalasan”. Maksud saya, dengan “buku tabungan ide” yg saya miliki, saya relative tidak pernah kehabisan ide ketika berhadaan dengan komputer: selalu bisa geber langsung, menulis. Menulis. Menulis. Nah, masalah utama saya justru ada di: rasa malas. Ide sudah ada, saya tahu apa yang akan saya tulis, tetapi saya tak terdorong ingin menulis. Tapi malah sibuk main spider solitere hehehe. Nah, ini yang saya anggap berbahaya, setidaknya bagi saya.
Kalau saya menghadapi itu, biasanya saya akan coba rileks. Membaca hal-hal yang berkaitan dengan tema apa yang saya tulis itu, termasuk meng ‘google’ hal yang bisa memancing gairah saya untuk mebali menulis.
Anda menulis Cerita Pendek, juga naskah panggung. Bagaimana anda menyikapi keduanya ?
Dalam menulis, saya cenderung membaginya menjadi sua hal: tulisan ekspresif yang bersifat pribadi (saya menyebutnya sebagai “poyek estetis pribadi”), dan tulisan pekerjaaan.
Pada yang pertama, saya menulis karena saya ingin menuliskan apa yang meneurut saya bagus, aatau karna saya punya gagasan estetis cerita. Ini yang banyak saya lakukan ketika saya menulis cerpen.
Pada yang kedua, saya menulis karena memang ada kerjaan yang harus saya tuliskan. Beberapa naskah saya, pada tingkat tertentu ada yang saya tulis berdasarkan kesepakatan seperti itu, misalnya soal tema. Tetapi ada juga yang saya tulis, karena memang saya punya gagasan estetis itu. Tapi biasanya, dalam naskah pangung, selalu ada kompromi, ketika nantinya hendak diwujudkan dalam pangggung. Makanya saya menyebutnya sebagai “proyek estetis bersama”
Cara melatih diri agar lancar menulis ?
Tetapkan jadwal kapan mau menulis,pasang target berapa lama dan banyak membaca. Di sela-sela itu, mencatat apa saja.Terakhir, jadikan berlatih menulis lebih penting dari pacaran hahaha

Minggu, 05 Juni 2011

FILM PUPUS cinta Bersemi d Kampus

dimuat majalah GARUDA inflight

Film

Bersemi di Kampus

Lewat film Pupus, Rizal Mantovani kian menegaskan fokusnya di genre drama remaja. Kisahnya sederhana, tapi tata artistiknya bagus. Oleh Iwan Setiawan

Pada akhir 70-an, film-film dengan latar kehidupan kampus sempat marak di Indonesia. Beberapa di antaranya yang berhasil mendulang sukses, baik secara artistik maupun jumlah penonton, adalah Cintaku Di Kampus Biru (1976) dan Badai Pasti Berlalu (1977).
Sukses memulai demam horor lewat Jelangkung, sutradara Rizal Mantovani kini mencoba mengembalikan genre film kampus lewat film Pupus.
“Tidak ada salahnya belajar dari sejarah Jelangkung, salah satu film horor terlaris yang idenya diambil dari film horor Indonesia tempo dulu. Maka saya optimis juga bisa membuat film tema kampus di masa kini dan sukses seperti dulu,” ujar Rizal.
Film dibuka dengan ingar-bingar kehidupan di sebuah universitas favorit di Jakarta saat berlangsungnya penerimaan mahasiswa baru. Di sini kita diperkenalkan pada sosok Cindy (Donita), mahasiswi asal Lampung yang nekat berkuliah di Jakarta meski dilarang ibunya.
Para senior kemudian menyuruhnya mencari mahasiswa lain yang memiliki tanggal ulang tahun sama dengannya, lalu mengajaknya merayakan hari kelahiran bersama. Muncullah sosok kedua yang bernama Panji (Marcel Chandrawinata), mahasiswa yang cenderung menghindari pesta ulang tahun.

Cindy cantik, Panji rupawan. Sampai di sini, jalan cerita mudah ditebak: Cindy dan Panji menjalin cinta. Konflik muncul ketika Panji justru menghindar dan tidak pernah menyatakan langsung perasaannya, bahkan ketika Cindy berpaling pada pria lain. Hingga akhirnya Cindy memutuskan untuk fokus pada kuliah sekaligus membuktikan dirinya bukan gadis manja asal daerah yang memburu cinta di kota besar. Adegan tarik-ulur perasaan di antara kedua remaja ini jadi bumbu drama yang mengocok hati penonton.
Film ini sukses menjadikan kehidupan kampus latar yang hidup.
Dalam durasi 90 menit, sutradara menguraikan kehidupan lima tahun para tokohnya, mulai dari pendaftaran mahasiswa hingga lulus. Perhatian kru artistik terhadap detail layak diacungi jempol. Kita bisa menyaksikan perubahan potongan rambut, gaya berbusana, maupun pendewasaan emosi pada para tokoh film.
Alur film yang ditulis Alim Sudio ini juga mengalir mulus dengan plot yang mudah diikuti.
Dialognya cukup menyentuh dan tidak murahan. Pupus adalah karya kedua Alim Sudio bersama Rizal Mantovani. Sebelumnya mereka menggarap drama berjudul Ada Kamu, Aku Ada. “Menyajikan sesuatu yang sederhana bukan berarti gampangan. Karena naskah cerita ini sempat mengalami beberapa kali pembongkaran serta melewati tes kelayakan yang ketat, demi menjadikan film ini riil, sekaligus dramatis,” tutur Alim.
Rizal mengklaim, film yang judulnya diambil dari lagu grup musik Dewa ini hanya memiliki satu tujuan: menghibur para remaja. Maklum, segmen ini adalah penonton film nasional yang paling setia. Meski begitu, Rizal tak lupa menyisipkan pesan-pesan positif yang simpel bagi penonton.
”Ini memang film hiburan,” ujarnya. ”Namun bukan berarti tanpa pesan.”

Rabu, 04 Mei 2011

resensi film The Mirror Never Lies

Film

Pencarian di Wakatobi

Pemerintah daerah Wakatobi mensponsori pembuatan film yang menampilkan keindahan pulau-pulaunya. Karya cerdas yang mengetuk kesadaran kita akan kayanya laut Indonesia.
Andaikan penonton tidak menyukai jalan cerita film ini, mereka bisa dipastikan bakal terbuai oleh setting-nya. Disyuting di Wakatobi, salah satu surga diving di Indonesia, The Mirror Never Lies adalah film yang dibuat bersama oleh tiga pihak: Pemerintah Kabupaten Wakatobi, organisasi lingkungan WWF, dan SET Film. Salah satu misinya adalah menegur kesadaran nasional akan pentingnya menjaga laut Nusantara.
Walau membawa pesan sponsor, film ini tidak lantas jatuh menjadi kumpulan nasihat. Kisahnya dimulai oleh seorang gadis bernama Pakis yang mencari ayahnya yang hilang kala mengembara di laut lepas. Keyakinannya diperkuat oleh keberadaan sebuah cermin yang dapat meramalkan kedatangan sang ayah. Konflik kemudian muncul setelah Ibunda Pakis, Tayung (Atiqah Hasiholan), justru menginginkannya mengubur harapan akan ayahnya.
Tak mengindahkan pesan sang ibu, bersama temannya, Lumo, Pakis lalu memulai ekspedisi pencarian. Muncullah kemudian Ludo (Reza Rahadian), peneliti asal Jakarta yang mengunjungi Wakatobi demi melarikan diri dari masalah pribadi sekaligus menyalurkan kecintaannya pada lumba-lumba. Keempat tokoh tersebut—Pakis, Tayung, Lumo, dan Ludo—kemudian bertemu dan saling memberi arti satu sama lain, termasuk pada laut yang melingkupi hidup mereka. Cinta yang hilang, harapan, dan pencarian menjadi bumbu yang mewarnai drama dalam film ini.
Selama 30 hari syuting, Kamila Andini selaku sutradara mengaku kewalahan dengan medan Wakatobi. “Selain cuaca yang seringkali hujan, lokasi syuting kami nyaris sepenuhnya di laut, hal ini tentu saja menjadi kesulitan tersendiri,” kenangnya.
Film yang dibuat dengan ongkos sekitar Rp4 miliar ini membuai penonton dengan gambar-gambar cantik: pantai pasir putih, ikan aneka warna, dan pulau-pulau yang terhampar di atas laut turkuois. Yang tak kalah menarik, The Mirror Never Lies juga mengantar penonton mengunjungi perkampungan Suku Bajo yang mendiami Wakatobi. Rumah-rumah yang berdiri di atas laut dan kepercayaan mereka terhadap hal-hal mistik dikemas dalam sinematografi yang menarik.
Namun Kamila Andini tak ingin menjadikan filmnya sebuah karya dokumenter yang melulu menyajikan gambar menawan. “Saya ingin film ini bisa dinikmati semua kalangan dan menjadi sebuah pernyataan terhadap sebuah jati diri bangsa kita, bangsa maritim, yang mungkin telah dilupakan,” kata putri dari sutradara papan atas Garin Nugroho ini.
Akting Atiqah patut diacungi jempol. Wanita cantik yang menjadi bintang iklan sabun ini tidak segan melumuri wajahnya dengan bedak tebal, kebiasaan khas wanita Bajo saat melaut yang bertujuan menangkal terik matahari. Tentunya tidak mudah baginya untuk menunjukkan ekspresi dan emosi dengan wajah celemotan.
Film ini juga menampilkan tiga pemain cilik asli Suku Bajo di Wakatobi, yakni Gita Lovalista, Inal, dan Eko. Meski baru pertama kali beraksi di depan kamera, mereka terlihat sangat natural dalam membawakan naskah. “Kami sempat berencana menggunakan artis cilik asal Jakarta yang sudah lolos seleksi, namun ketika pengambilan gambar di lokasi, anak-anak itu sangat kesulitan untuk sekadar berjalan di atas jembatan kayu dan berdiri di rumah yang terletak di tengah laut,” jelas Kamila Andini. Suku Bajo kerap dijuluki kaum gipsi laut. Laut merupakan habitat sekaligus sandaran hidup mereka. Suku ini bahkan memiliki tradisi mencemplungkan anak-anak ke laut tak lama setelah dilahirkan.

Rabu, 27 April 2011

Cinta Mati

Di sebuah rumah di Jl Kiasnawi yang baru saja dilebarkan itu, seseorang telah meninggal.Hal tersebut bisa dilihat dari sebuah peti mati yang tergeletak di depan rumah, hiasan lampion dari kain kasa yang menggantung serta beberapa orang tampak mengenakan baju serba putih dan ikat kepala yang juga berwarna putih.

Sesekali tamu berdatangan memberi hormat pada peti mati itu dan menyalami pihak keluarga yang tampak masih menyeka air matanya.

“Kemaren Gito masih mancing ame kite-kite. Tapi hari ini…….”

“Sudah, sudah ……… Kita nggak bisa nebak kapan matinye orang …”

Lalu seorang lelaki berkemeja putih lengan panjang yang digulung sebatas siku dan bercelana kain warna hitam, dengan rambut berminyak disisir ke belakang, masuk ke dalam rumah. Beberapa tamu, seusai memberi hormat pun masuk ke dalam rumah tersebut. Ada juga yang memilih duduk di luar, menemani tuan rumah sembari ngobrol disamping peti mati itu. Biasanya di meja yang dihiasi taplak juga berwarna putih tersebut, terletak beberapa piring penganan kecil, seperti kacang, kuaci dan kopi.

Menurut kepercayaan warga keturunan cina, sebelum jenazah dikubur, pihak keluarga wajib menunggui peti tersebut. Alasannya rupa-rupa. Mulai dari kemungkinan ‘mati suri’, sehingga mungkin saja hidup lagi (?!) juga  memberikan kesempatan buat sanak saudara maupun teman melihat wajah yang meninggal untuk terakhir kalinya. Banyak tamu berdatangan, selain memberi salam tanda turut berduka cita, banyak juga yang menemani tuan rumah menunggui peti mati tersebut.

Di antara waktu menunggu tersebutlah, banyak aktivitas dilakukan. Mulai dari ngobrol ngalor ngidul, main tebak-tebakan berbau seks hingga Judi.

Ya..... Judi ! Tidak jarang malah tamu berdatangan entah dari mana, bahkan tidak saling kenal dengan pihak yang berduka, namun hadir pula hanya untuk berjudi.

Hari menjelang gelap, matahari mungkin telah terlelap. Namun beberapa orang dalam rumah kecil tersebut malah tampak semakin kalap. Dibalik asap rokok yang mengepung ruangan, sorak sorai gembira, teriakan kecewa, silih berganti terdengar pula bunyi ‘jeplak’ kartu yang dilempar atau bunyi ‘prok’ dadu beradu dalam batok kelapa. 

‘Mak, aye pengen sekolah neeh, boleh kagak?’

‘Iyee, sekolah gih sono, kalo emang lo punya duit.. Terserah deh…’

‘Woi,ngomong aje lo. Giliran lo nih… Udah suruh pulang aje tuh anak, ngapain juge die disini…………”

‘Emang ‘ni… Sono deh lo. ’Tar kalau menang gua bagi, buat elo sekolah…’

‘Lha, kalo kalah pegimane Mak ?’

Seseorang berteriak dari ujung meja bulat lainnya yang terletak agak menjorok ke dalam ruangan nan sumpek itu, “Hei, kopinye atu ame Samsu dua batang ye… Buruan, kagak pake lama 

Seorang anak kecil terlihat berlari kecil menghampiri wanita setengah tua yang tampak sedang duduk sambil menaikan salah satu kakinya dan sesekali meludah ke lantai, membuang sirih yang dikunyahnya. Diserahkannya dua batang rokok merk Dji Sam Soe sambil meletakkan pelan-pelan secangkir kopi hitam panas.

“Gua bayarnya ntar, kalo menang ye… Hahaha!”

“Pake aje deh tuh kopi ame rokok. Kali-kali aje bawa mujur,” ujar si anak yang kembali berlari kecil menuju seseorang di meja lain yang memanggilnya. 

“Ato nggak, lo kagak usah sekolah aje Tong. Tapi kerja di sini,bantuin gue. Mau kagak?” Perempuan setengah tua itu bicara dengan sebatang rokok terselip  di antara katupan bibir keriputnya, sementara kedua tangannya sibuk menata kartu yang terserak dihadapannya.

”Nih, gua turunin jagoan di awal, biar pada kapok lu semua. Emang enak kalah terus.”

Pemain lain terdiam sesaat sebelum akhirnya salah satu di antara mereka dengan gagah melempar kartu ke meja ‘PLAK’, seraya berkata,“Neh, lawannya. Baru segitu aja dah bangga lo,” katanya sambil tertawa keras, hingga perut gendutnya bergerak-gerak, naik turun .

“Tuh’khan… Sialan! Gare-gare ada elo nih, gua jadi kalah terus. Dasar, anak bawa sial lo”

“Aye kagak mau kerja di sini Mak. Kagak bisa maen kartu jadinye,” keluh si anak yang dijadikan kambing hitam itu.

“Yee… Nyang nyuruh lo jadi tukang main kartu, sapa? Gua suruh lo, jadi tukang rokok, kopi ama ya… nasi uduk’lah buat nyang main kartu pada makan ame minum.”  

Si anak cuma terdiam mendengar perkataan perempuan itu. Tertunduk, sembari sesekali mengusap ingus di hidungnya yang keluar naik turun. Namun akhirnya ia memberanikan diri untuk bicara, “Mak, aye ke rumah temen dulu, ye…”

“Ya udeh…gih sono. Diajarin juga malah kagak mau denger lo! Main melulu… ngabisin duit gua aja lo. Gak liat ape lo, gua lagi kalah nih. Kalo elo mau main, gua nggak bisa ngasi lo uang jajan. Makanye kerja lo. Segale sekolah’lah lo pengenin…”

…………

“Aiya! Di sini elo rupanya”

Seorang perempuan berumur tiga puluhan dengan muka penuh keringat, mengenakan baju putih dekil, memasuki ruangan yang pengap asap rokok itu. Sambil menggendong bayi di sebelah tangannya, ia mendatangi salah satu pojok sembari mengacung-acungkan jarinya. Perlahan ia turunkan bayi berusia tujuh bulanan itu dan menaruhnya, tepat di atas meja judi.

“Masih inget kagak, ini anak sapa? Anak lo, ni..” teriaknya, mengundang pandangan mata satu ruangan tertuju ke arahnya.

“Lani, elo apa-apaan sih? Gua lagi kerja neh… Kalo ntar menang pan duitnya buat elo juga. Buat Doni anak kita. Dah, sono bawa ni anak…”

Lelaki itu mengangkat si bayi dan menyodorkannya ke arah perempuan tersebut. Sementara tiga lelaki lain yang sejak tadi menjadi teman mainnya, hanya terdiam. Sesekali menahan senyum.

“Kerja? Beginian elo anggap kerja? Iye kalau menang, duitnya buat gua. Kalo kalah? Emas gua abis dipake buat beginian,” katanya sambil meraup kartu di meja dan membuangnya ke lantai. Sedang bayi tersebut masih terdiam,tidak menangis melihat itu semua. Hanya matanya saja bergerak-gerak terus. Bergantian memandangi kedua orang tersebut.

“Gua udahan aja,ah! Elo urus tuh bini lo…”

“Gua juga”

“Nah, sekarang elo seneng ,ha? Gua lagi kalah, elo datang dan maen jadi udahan begini? Elo seneng? Mati aje, lo…”

Dengan geram, lelaki itu menaruh bayi tersebut di meja judi. Walau amarah terlihat membara di matanya, ia tetap meletakkan bayi itu secara lembut dan perlahan. Kini mereka tinggal berdua, tanpa rintangan satu orang manusia pun.

“Jadi ini salah gue? Elo yang judi ber(h)ari-(h)ari, nggak pulang dan nggak ngasih duit, tapi gua yang salah? Gitu?”

“Udah-udah, gua nggak mau tengkar disini. Mendingan elo pulang dah daripada…” Setengah mengancam, lelaki itu berujar.

“Daripada apa? Daripada lo pukul? Elo mau mukul gua?”

Kali ini bayi tersebut menangis. Keras sekali.

“Elo bawa pulang deh anak itu atau elo gua ….”

“Apa? Mo ngapain lo? Jangan ngomong doang lo, bisanya.”

PLAK!

Tangan si lelaki melayang tanpa ayal dan hinggap di pipi perempuan.

Perempuan itu mendadak diam. Seluruh kulit di wajahnya mengencang, matanya melotot. Tubuhnya bergetar hebat. Bayi di atas meja terus menangis. Semakin keras.

Lelaki itu kini panik, sementara tangannya masih terayun-ambang di udara. Sepersekian detik, sebuah kesadaran menghardiknya. Memaksanya bergerak. Menghampiri perempuan yang baru saja ditamparnya itu. Tubuh itu jatuh melunglai lemas, namun terus bergetar.

“Woiii… tulungin gua eh…bini gua, anak gua, waduh… woiii!” teriak lelaki kalap.

Dari mulut perempuan itu kini keluar darah. Wajahnya memucat, namun tubuhnya tak lagi bergetar. Tak lagi bergerak sama sekali. Kaku, dingin, pasi…

Tangisan bayi yang semakin keras memenuhi ruangan pengap. 

………

Seusai menyelesaikan permainan judi di salah satu rumah duka di Tangerang, Gito pulang dengan jalan kaki. Maklum, taksi memang masih langka di udara pagi sedingin ini. Angkutan umum malah belum beroperasi. Masih terlalu pagi. Sambil bersiul, Gito merapatkan jaketnya, mengusir rambatan dingin. Ia membayangkan akan menggunakan apa saja uang yang didapat dari kemenangan tersebut.

“Bentar lagi, gua bisa beli motor, terus jadi tukang ojek dah. Dari pagi gua bisa ngojek ampe sore. Terus abis itu gua bisa nyantai di rumah bareng anak bini gua. Hmmm…”

Gito tersenyum. Puas. Tapi tak lama.

Sebuah motor dengan kecepatan tinggi mengarah padanya. Terlambat buat Gito untuk menghindar. Dalam sesaat tubuhnya terpental dan beradu keras dengan sebatang pohon. Tak jauh dari tempatnya berdiri. Setelah melalui beberapa meter, sepeda motor itu memutar, mendekati Gito yang kini tak berdaya. Tubuhnya memar-memar, dari kepalanya mengucur darah deras.

Tanpa melepas helm di kepala, pengendara motor tersebut turun dan menghampiri tubuh Gito. Menendangnya keras. Memastikan tubuh itu terbujur kaku. Tak bergerak. Dengan kasar, ia merogoh seluruh saku baju, jaket dan celana Gito. Puas menggerayangi, ia kembali menumpangi sepeda motornya dan pergi. Pergi meninggalkan tubuh Gito dan darah yang mulai menggenanginya. Tergolek sia-sia.

Di sebuah rumah di Jl Kiasnawi yang baru saja dilebarkan itu, seseorang telah meninggal. Hal tersebut bisa terlihat dari sebuah peti mati yang berada di depan rumah, hiasan lampion dari kain kasa serta beberapa orang tampak mengenakan baju serba putih dan ikat kepala yang juga berwarna putih.  


Selasa, 26 April 2011

Butet Kertaredjasa: Kesuksesan yang Melahirkan Kekhawatiran

April, 21st 2011 |  by  Iwan Setiawan  | 0

Pada 29–30 Maret lalu, Jakarta kedatangan 'tamu' dari Yogyakarta yang menggelar sebuah pentas Laskar Dagelan: From Jogja With Love lengkap dengan sejumlah kuliner khas Jogja, seperti gudeg, sate klathak, coklat roso, dan lainnya. 

Photo by: Dokumentasi Istimewa
Selama dua hari, publik Jakarta diajak mengenal kembali Yogyakarta dengan cara yang menarik dan mengenyangkan. Pentas Laskar Dagelan: From Jogja With Love merupakan bagian dari serangkaian program rutin yang bakal di gelar Indonesia Kita. Apa itu Indonesia Kita dan apa saja aksi berikutnya? Butet Kertaredjasa, salah satu pentolan Indonesia Kita bicara.
Apa ide yang melatarbelakangi 'gerakan' Indonesia Kita? Bertolak dari keprihatinan adanya upaya dari berbagai pihak untuk menyeragamkan Indonesia. Ada upaya menggugurkan keyakinan bahwa pilihan untuk menjadi Indonesia yang majemuk adalah sebuah pilihan yang keliru. Saya meyakini, apa yang telah ditentukan oleh para pendiri bangsa ini bahwa Indonesia yg kita bangun adalah Indonesia yang senantiasa membuka diri dan selalu berdialog antar-entnik adalah sebuah kebenaran. Maka, saya mencoba mengajak khalayak untuk semakin meyakini bahwa kekayaan budaya kita yang majemuk itu sebuah berkah. Kita bisa menjadi Indonesia dengan kekuatan seni budaya.
Laskar Dagelan, sebagai proyek pertama, rasanya cukup berhasil. Apa masukan untuk pentas Indonesia Kita selanjutnya yang didapat dari Laskar Dagelan?
Kesuksesan itu melahirkan kekhawatiran, yaitu jangan sampai ada persepsi bahwa event Indonesia Kita harus lucu-lucuan seperti Laskar Dagelan. Khalayak bisa punya harapan mendapatan ger-geran aja. Jika ini yang terjadi, tujuan utama bisa meleset. Sebab, yang kami inginkan melalui Indonesia Kita adalah orang semakin bangga dan percaya diri sebagai orang Indonesia yang menjunjung pluralisme. Semakin percaya bahwa jalan kesenian merupakan juga bisa dijadikan ikhtiar untuk menjadi Indonesia yang sampai hari ini masih mencari bentuk.
Untuk Indonesia Kita edisi 27 dan 28 Mei mendatang, Beta Maluku, mungkin akan memperlihatkan bentuk yang lain. Bukan sebuah komedi. Tapi benar-benar pertunjukan musikal yang menghadirkan kekuatan vokal dan musik. Itu unggulan Maluku. Kami akan mengemas potensi luar biasa dari budaya Maluku secara apik, supaya tidak sekadar show ala 'Maluku Night'. Tetap harus ada pesan keiindonesiaan di dalam setiap penampilan Indonesia Kita.
Evaluasi lainnya adalah soal pengelolaan produk kulinernya. Kemarin kami benar-benar nggak menduga. Ternyata, respons masyarakat begitu luar biasa sehingga kami kelabakan melayani ribuan orang yang tiba-tiba menyerbu TIM. Tentu semua ini akan kami antisipasi dengan memberikan pelayanan yang lebih baik.
Apakah mengikutsertakan Hiphopdiningrat memang ada kesengajaan mendapat penonton yang lebih muda? Hiphopdiningrat adalah salah satu bukti adanya pergerakan kebudayaan di Jogja. Jogja bukan sebuah wilayah yang kebudayaannya stagnan, mandeg, dan kuno. Tapi sebuah entitas budaya yang terbuka dan selalu siap melakukan dialektika kebudayaan. Kami ingin kasih lihat kepada mereka yang apriori terhadap Jogja. Ini, lho, wajah kebudayaan Jogja hari ini, supaya mereka tidak lagi melihat Jogja secara keliru. Bahkan anak mudanya bisa hadir membahasakan dirinya secara kontemporer tanpa harus mengkhianati nilai-nilai tradisinya. Bukankah ini sebuah kekuatan lain untuk ‘menjadi Indonesia’? Keren, 'kan?
Muatan 'politis' dalam Lakar Dagelan cukup kental tentang keistimewaan Jogja. Apakah ini kesengajaan sebagai bentuk kritik pada pemerintah? Lebih tepatnya, kami sengaja kasih lihat kepada khalayak, termasuk orang "pusat", ini lho wajah kebudayaan Jogja yang dituduh monarki itu? Bahwa kami diam-diam telah mempraktikkan sebuah kehidupan demokrasi dalam kebudayaan tanpa harus diajari oleh juklak politik. Seperti kata Pak Daoed Joesoef, dalam konteks berdemokrasi di Jogja, "Jangan seperti mengajari ikan berenang." Tanpa ada kehidupan demokrasi yang sehat, bercanda ala Laskar Dagelan dan Hip Hop berbahasa Jawa itu pasti tak akan hidup.
Selanjutnya, apa rencana Indonesia Kita?Tahun ini, setelah Laskar Dagelan, masih ada lima event lagi yang kami garap. Bulan Mei mendatang akan tampil Beta Maluku. Lalu, seterusnya budaya Jawa Timur, Melayu, folklore dari berbagai wilayah, dan Kalimantan. Ini memang sebuah pilot project. Kalau berhasil akan kami teruskan tahun depan dengan mengangkat wilayah-wilayah kebudayaan lain.
Kenapa Maluku? Cuma masalah jadwal saja. Nanti semua wilayah akan kami sapa, sejauh masyarakat budaya setempat berada dalam visi yang sama dengan kami. Kesediaan membuka diri dan berdialog, serta meyakini bahwa "menjadi Indonesia" yang majemuk adalah impian bersama, pastilah dimungkinkan lahirnya kerja sama yang indah.
Anda sendiri, masih akan terus aktif bermonolog, 'kan?Tahun ini, saya masih ingin mengelilingkan monolog Kucing ke beberapa kota. Bulan April dan Mei ini kami akan tur ke Kudus, Salatiga, Semarang, Solo, Pekalongan, Tegal, dan Purwokerto. Dilanjutkan, bulan September dan Oktober ke beberapa kota di Sumatra. Selain itu, saya juga disibukkan dengan kegiatan Yayasan Bagong Kussudiardja, melakukan workshop kreativitas berbasis seni untuk kalangan non-sen

Cinta Mati


Di sebuah rumah di Jl Kiasnawi yang baru saja dilebarkan itu, seseorang telah meninggal.Hal tersebut bisa dilihat dari sebuah peti mati yang tergeletak di depan rumah, hiasan lampion dari kain kasa yang menggantung serta beberapa orang tampak mengenakan baju serba putih dan ikat kepala yang juga berwarna putih.

Sesekali tamu berdatangan memberi hormat pada peti mati itu dan menyalami pihak keluarga yang tampak masih menyeka air matanya.

“Kemaren Gito masih mancing ame kite-kite. Tapi hari ini…….”

“Sudah, sudah ……… Kita nggak bisa nebak kapan matinye orang …”

Lalu seorang lelaki berkemeja putih lengan panjang yang digulung sebatas siku dan bercelana kain warna hitam, dengan rambut berminyak disisir ke belakang, masuk ke dalam rumah. Beberapa tamu, seusai memberi hormat pun masuk ke dalam rumah tersebut. Ada juga yang memilih duduk di luar, menemani tuan rumah sembari ngobrol disamping peti mati itu. Biasanya di meja yang dihiasi taplak juga berwarna putih tersebut, terletak beberapa piring penganan kecil, seperti kacang, kuaci dan kopi.

Menurut kepercayaan warga keturunan cina, sebelum jenazah dikubur, pihak keluarga wajib menunggui peti tersebut. Alasannya rupa-rupa. Mulai dari kemungkinan ‘mati suri’, sehingga mungkin saja hidup lagi (?!) juga  memberikan kesempatan buat sanak saudara maupun teman melihat wajah yang meninggal untuk terakhir kalinya. Banyak tamu berdatangan, selain memberi salam tanda turut berduka cita, banyak juga yang menemani tuan rumah menunggui peti mati tersebut.

Di antara waktu menunggu tersebutlah, banyak aktivitas dilakukan. Mulai dari ngobrol ngalor ngidul, main tebak-tebakan berbau seks hingga Judi.

Ya..... Judi ! Tidak jarang malah tamu berdatangan entah dari mana, bahkan tidak saling kenal dengan pihak yang berduka, namun hadir pula hanya untuk berjudi.

Hari menjelang gelap, matahari mungkin telah terlelap. Namun beberapa orang dalam rumah kecil tersebut malah tampak semakin kalap. Dibalik asap rokok yang mengepung ruangan, sorak sorai gembira, teriakan kecewa, silih berganti terdengar pula bunyi ‘jeplak’ kartu yang dilempar atau bunyi ‘prok’ dadu beradu dalam batok kelapa. 

‘Mak, aye pengen sekolah neeh, boleh kagak?’

‘Iyee, sekolah gih sono, kalo emang lo punya duit.. Terserah deh…’

‘Woi,ngomong aje lo. Giliran lo nih… Udah suruh pulang aje tuh anak, ngapain juge die disini…………”

‘Emang ‘ni… Sono deh lo. ’Tar kalau menang gua bagi, buat elo sekolah…’

‘Lha, kalo kalah pegimane Mak ?’

Seseorang berteriak dari ujung meja bulat lainnya yang terletak agak menjorok ke dalam ruangan nan sumpek itu, “Hei, kopinye atu ame Samsu dua batang ye… Buruan, kagak pake lama 

Seorang anak kecil terlihat berlari kecil menghampiri wanita setengah tua yang tampak sedang duduk sambil menaikan salah satu kakinya dan sesekali meludah ke lantai, membuang sirih yang dikunyahnya. Diserahkannya dua batang rokok merk Dji Sam Soe sambil meletakkan pelan-pelan secangkir kopi hitam panas.

“Gua bayarnya ntar, kalo menang ye… Hahaha!”

“Pake aje deh tuh kopi ame rokok. Kali-kali aje bawa mujur,” ujar si anak yang kembali berlari kecil menuju seseorang di meja lain yang memanggilnya. 

“Ato nggak, lo kagak usah sekolah aje Tong. Tapi kerja di sini,bantuin gue. Mau kagak?” Perempuan setengah tua itu bicara dengan sebatang rokok terselip  di antara katupan bibir keriputnya, sementara kedua tangannya sibuk menata kartu yang terserak dihadapannya.

”Nih, gua turunin jagoan di awal, biar pada kapok lu semua. Emang enak kalah terus.”

Pemain lain terdiam sesaat sebelum akhirnya salah satu di antara mereka dengan gagah melempar kartu ke meja ‘PLAK’, seraya berkata,“Neh, lawannya. Baru segitu aja dah bangga lo,” katanya sambil tertawa keras, hingga perut gendutnya bergerak-gerak, naik turun .

“Tuh’khan… Sialan! Gare-gare ada elo nih, gua jadi kalah terus. Dasar, anak bawa sial lo”

“Aye kagak mau kerja di sini Mak. Kagak bisa maen kartu jadinye,” keluh si anak yang dijadikan kambing hitam itu.

“Yee… Nyang nyuruh lo jadi tukang main kartu, sapa? Gua suruh lo, jadi tukang rokok, kopi ama ya… nasi uduk’lah buat nyang main kartu pada makan ame minum.”  

Si anak cuma terdiam mendengar perkataan perempuan itu. Tertunduk, sembari sesekali mengusap ingus di hidungnya yang keluar naik turun. Namun akhirnya ia memberanikan diri untuk bicara, “Mak, aye ke rumah temen dulu, ye…”

“Ya udeh…gih sono. Diajarin juga malah kagak mau denger lo! Main melulu… ngabisin duit gua aja lo. Gak liat ape lo, gua lagi kalah nih. Kalo elo mau main, gua nggak bisa ngasi lo uang jajan. Makanye kerja lo. Segale sekolah’lah lo pengenin…”

…………

“Aiya! Di sini elo rupanya”

Seorang perempuan berumur tiga puluhan dengan muka penuh keringat, mengenakan baju putih dekil, memasuki ruangan yang pengap asap rokok itu. Sambil menggendong bayi di sebelah tangannya, ia mendatangi salah satu pojok sembari mengacung-acungkan jarinya. Perlahan ia turunkan bayi berusia tujuh bulanan itu dan menaruhnya, tepat di atas meja judi.

“Masih inget kagak, ini anak sapa? Anak lo, ni..” teriaknya, mengundang pandangan mata satu ruangan tertuju ke arahnya.

“Lani, elo apa-apaan sih? Gua lagi kerja neh… Kalo ntar menang pan duitnya buat elo juga. Buat Doni anak kita. Dah, sono bawa ni anak…”

Lelaki itu mengangkat si bayi dan menyodorkannya ke arah perempuan tersebut. Sementara tiga lelaki lain yang sejak tadi menjadi teman mainnya, hanya terdiam. Sesekali menahan senyum.

“Kerja? Beginian elo anggap kerja? Iye kalau menang, duitnya buat gua. Kalo kalah? Emas gua abis dipake buat beginian,” katanya sambil meraup kartu di meja dan membuangnya ke lantai. Sedang bayi tersebut masih terdiam,tidak menangis melihat itu semua. Hanya matanya saja bergerak-gerak terus. Bergantian memandangi kedua orang tersebut.

“Gua udahan aja,ah! Elo urus tuh bini lo…”

“Gua juga”

“Nah, sekarang elo seneng ,ha? Gua lagi kalah, elo datang dan maen jadi udahan begini? Elo seneng? Mati aje, lo…”

Dengan geram, lelaki itu menaruh bayi tersebut di meja judi. Walau amarah terlihat membara di matanya, ia tetap meletakkan bayi itu secara lembut dan perlahan. Kini mereka tinggal berdua, tanpa rintangan satu orang manusia pun.

“Jadi ini salah gue? Elo yang judi ber(h)ari-(h)ari, nggak pulang dan nggak ngasih duit, tapi gua yang salah? Gitu?”

“Udah-udah, gua nggak mau tengkar disini. Mendingan elo pulang dah daripada…” Setengah mengancam, lelaki itu berujar.

“Daripada apa? Daripada lo pukul? Elo mau mukul gua?”

Kali ini bayi tersebut menangis. Keras sekali.

“Elo bawa pulang deh anak itu atau elo gua ….”

“Apa? Mo ngapain lo? Jangan ngomong doang lo, bisanya.”

PLAK!

Tangan si lelaki melayang tanpa ayal dan hinggap di pipi perempuan.

Perempuan itu mendadak diam. Seluruh kulit di wajahnya mengencang, matanya melotot. Tubuhnya bergetar hebat. Bayi di atas meja terus menangis. Semakin keras.

Lelaki itu kini panik, sementara tangannya masih terayun-ambang di udara. Sepersekian detik, sebuah kesadaran menghardiknya. Memaksanya bergerak. Menghampiri perempuan yang baru saja ditamparnya itu. Tubuh itu jatuh melunglai lemas, namun terus bergetar.

“Woiii… tulungin gua eh…bini gua, anak gua, waduh… woiii!” teriak lelaki kalap.

Dari mulut perempuan itu kini keluar darah. Wajahnya memucat, namun tubuhnya tak lagi bergetar. Tak lagi bergerak sama sekali. Kaku, dingin, pasi…

Tangisan bayi yang semakin keras memenuhi ruangan pengap. 

………

Seusai menyelesaikan permainan judi di salah satu rumah duka di Tangerang, Gito pulang dengan jalan kaki. Maklum, taksi memang masih langka di udara pagi sedingin ini. Angkutan umum malah belum beroperasi. Masih terlalu pagi. Sambil bersiul, Gito merapatkan jaketnya, mengusir rambatan dingin. Ia membayangkan akan menggunakan apa saja uang yang didapat dari kemenangan tersebut.

“Bentar lagi, gua bisa beli motor, terus jadi tukang ojek dah. Dari pagi gua bisa ngojek ampe sore. Terus abis itu gua bisa nyantai di rumah bareng anak bini gua. Hmmm…”

Gito tersenyum. Puas. Tapi tak lama.

Sebuah motor dengan kecepatan tinggi mengarah padanya. Terlambat buat Gito untuk menghindar. Dalam sesaat tubuhnya terpental dan beradu keras dengan sebatang pohon. Tak jauh dari tempatnya berdiri. Setelah melalui beberapa meter, sepeda motor itu memutar, mendekati Gito yang kini tak berdaya. Tubuhnya memar-memar, dari kepalanya mengucur darah deras.

Tanpa melepas helm di kepala, pengendara motor tersebut turun dan menghampiri tubuh Gito. Menendangnya keras. Memastikan tubuh itu terbujur kaku. Tak bergerak. Dengan kasar, ia merogoh seluruh saku baju, jaket dan celana Gito. Puas menggerayangi, ia kembali menumpangi sepeda motornya dan pergi. Pergi meninggalkan tubuh Gito dan darah yang mulai menggenanginya. Tergolek sia-sia.

Di sebuah rumah di Jl Kiasnawi yang baru saja dilebarkan itu, seseorang telah meninggal. Hal tersebut bisa terlihat dari sebuah peti mati yang berada di depan rumah, hiasan lampion dari kain kasa serta beberapa orang tampak mengenakan baju serba putih dan ikat kepala yang juga berwarna putih.