Minggu, 23 September 2012




Cita – Citaku Setinggi Tanah

“Suatu saat, saya akn membuat film anak-anak yang memang untuk anak-anak dan semua hasil penjualan tiket akan dipersembahkan juga buat anak-anak”
Demikian Eugene pandji, sutradara Iklan dan videoklip yang relative masih muda dan sangat laris pernah membuat ‘sumpah. Film inilah, wujud nyata dari sumpah tersebut.
Adalah Agus, yang dengan berani untuk berbeda dengan teman dan anak-anak lain dalam hal cita-cita yang ia inginkan. Ayahnya bekerja di pabrik tahu, ibunya adalah ibu rumah tangga yang sangat mahir membuat tahu bacem. Suatu ketika, Guru di sekolahnya meminta setiap siswa untuk membuat karangan mengenai cita-cita. Sementara teman lain ingin jadi tentara, artis bahkan berbuat kebaikan untuk orang lain, Agus malah kepingin makan di rumah makan khas Padang.
Bukan cuma asal omong, Agus pun memperjuangkan cita-citanya agar menjadi kenyataan. Ia bekerja sebagai kurir pengantar tahu, ayam hingga mencari keong di sawah. Sedikit demi sedikit ia kumpulkan dalam sebuah celengan bamboo sambil terus membayangkan lezatnya makanan di Restoran khas padang. Ketika uang mulai terkumpul, semua uangnya malah masuk ke dalam sumur. Agus pun resah.
Akankah Agus akhirnya berhasil menikmati hidangan khas rumah makan padang ?Lalu bagaimana dengan tugas karangan yang diberikan gurunya ?bagaimana dengan teman-temannya ?
Film ini menjalani syuting selama 30 hari di Munthilan, sebuah desa di kaki gunung Merapi, antara jogja dan Magelang. Seluruh pemain anak-anak adalah anak-anak yang memang tinggal di daerah setempat. Mereka adalah   M Syihab Imam Muttaqin, Rizqullah Maulana Daffa, Iqbal Zuhda Irsyad, Dewi Wulandari Cahyaningrum . Pilihan ini terasa tepat, karena ekspresi , dialek yang ditampilkan bisa sangat apa adanya. Sedangkan pemain-pemain yang relative telah punya nama, seperti Donny Alamsyah, Nina Tamam hingga Dwi Kuncoro mampu memberi nilai tambah film ini.
Kesederhanaan, bisa jadi benang merah dari film ini. Baik dari segi teknis penggarapan maupun tema yang diusung. Kesederhanaan ini juga yang akhirnya berhasil menawarkan pembeda dengan film anak-anak lain yang belakangan memuat tema dengan narasi yang besar.Kesederhanaan juga yang akhirnya mewujud sebagai keindahan yang paling alami.
Cita-cita ku setinggi tanah, dapat disaksikan 15 oktober 2012

Pesan Pluralisme dalam film anak-anak


Berandal di Seribu Ombak
Film, sewajarnya memang tidak sekedar dilihat sebagai media hiburan belaka. Dengan segala pesona audio – visual serta daya jangkau yang luas, memiliki kekuatan untuk membawa pesan baik yang ditularkan kepada siapa saja yang menyaksikan. Penyampaian pesan ini juga kelak kemudian diharapkan mampu tersimpan dalan benak, menjadi spirit dalam setiap  pemikiran,rasa dan perilaku. Pada akhirnya berujung pada sebuah perubahan kearah perbaikan dalam diri setiap orang, sebuah keluarga, masyarakat bangsa hingga dunia.
Sebagai cionton, salahh satu film yang dianggap membawa pesan untuk lingkungan hidup dan berhasil menggugah seisi dunia, adalah film karya Mantan Wapres Amerika serikat yang berjudul  An Inconvenient Truth. Filmdokumenter ini ikut membukakan mata warga dunia terhadap dampak pemanasan global sekaligus menyemarakan aksi untuk lebih mencinta lingkungan.
Baru-baru ini ada hawa segar yang ditawarkan pada film anak- anak  yang saat ini sedang diputar di bioskop-bioskop se Indonesia. Yaitu, pesan keberagaman yang dibawa oleh Berandal Berandal Ciliwung (Guntur Soeharjanto) dan Rumah di Seribu Ombak (Erwin Arnada). Dengan segala kekhasan masing-masing, kedua film tersebut mampu menyisipkan hiburan diantara pesan keberagaman atau sebaliknya. Dengan demikian, penonton, terutama anak-anak , dapat menerima, memahami ssekaligus terhibur dalam menikmati film tersebut. UUntuk beberapa hal, memang Rumah di Seribu Ombak sepertinya lebih ‘berat’. Namun Berandal Ciliwung, dengan caranya yang berbeda dapat dikatakan juga mampu membawakan pesan keberagaman dengan tetap menghibur.
Berandal Ciliwung diangkat dari novel yang beredar pada tahun 70an, karya Ahmad S Spirit, yang ditulis ulang dalam versi scenario film oleh Alim Sudio. Film ini mengisahkan persahabatan antara 5 orang anak berbeda asal-usul dan latar belakang yang sama-sama tingga di sekitar Kali Ciliwung. Mereka adalah Tirto yang berasal dari Jawa, Timur, yang berasal dari  Papua, Adam asli betawi, Umar berdarah Arab dan Raja yang keturunan suku Batak.  Di pertengahan film, juga dikenalkan tokoh Sisy, seorang anak perempuan keturunan China.
Mereka bersama-sama saling bahu membahu melewati berbagai ujian yang memecahkan persatuan mereka. Sepanjang film dipadati berbagai pesan positif, seperti kebersihan, yang digambarkan melalui aksi kebersihan kali Ciliwung, kepedulian dan kebersamaan melalui Festival tahu hingga kerjasama dan keberagaman yang dinyatakan melalui lomba rakit. Tirto dan kawan-kawan berhasil memenangkan lomba rakit lantaran mengusung hiasan rakit bertemakan keberagaman.
Dalam kerangka bangun cerita serta karakter yang bermain di dalamnya, dapat kita lihat dengan jelas betapa Berandal membawa pesan yang sangat strategis. Melalui film ini, sejak dini anak-anak telah dikenalkan oleh ‘sedikit’ keragaman yang ada di Indonesia, lengkap dengan hhiburan yang tentu saja membuat mereka tidak bosa dalam menyaksikannya.
Pengenalan terhadap sejumlah suku di Indonesia, walau hanya beberapa dan melalui tampilan yang sangat stereotype, sedikit banyak telah membantu anak-anak untuk lebih mengenal dan menghargai adanya suku-suku di Indonesia.
Dengan pendekatan dan objek yang berbeda, Rumah juga menawarkan issue keberagaman. Berbeda dengan Berandal yang membidik perbedaan antar Suku, Rumah mengedepankan persahabatan antar 2(dua) anak yang berbeda agama.  Sejak awal, film ini menyajikan persahabatan Yanik   dengan Samihi. Mereka adalah dua anak bertetangga kampung di Singaraja. Mereka punya banyak perbedaan. Samihi berasal dari keluarga Muslim, rajin mengaji, dan sangat takut air, sedangkan Yanik yang beragama Hindu, putus sekolah, bekerja di laut, dan berteman dengan lumba-lumba. Namun, kedua bocah ini bersahabat dan saling menguatkan satu sama lain untuk menghadapi mimpi-mimpi buruk mereka.
 Dari sisi penuturan, bisa jadi jadi Rumah terkesan lebih berat. Apalagi Rumah juga menyinggung issue perilaku turis yang kerap berhubungan seks dengan anak-anak. Namun tanpa bermaksud menjadi serius yang berlarut-larut, Rumah juga menyisipkan kisah cinta dan meski berakhir tragis, namun cukup manis lantaran berhiaskan gambar-gambar yang indah. Maklum, Rumah mengambil lokasi syuting di Singaraja –Bali.
Beradal-Berandal Ciliwung dan Rumah di Seribu Ombak, telah mengambil posisi yang penting diantara perselisihan SARA yang arak belakangan ini. Dengan segala potensi yang ada, SARA juga sangat rentan untuk ditunggangi oleh berbagai kepentingan, baik itu persialan pribadi, antar golongan dalam masyarakat baik melibatkan agama atau ekonomi hingga rebutan kursi di panggung politik. Berbagai kasus pertikaian yang terjadi sepanjang Pilkada DKI serta kerusuhan sampang baru-baru ini, adalah contoh kecil betapa maraknya persoalan SARA diantara kita.
Satu sisi, bisa jadi ada pihak yang menganggap pengharapan dan apresiasi saya terhadap kedua film tersebut berlebihan. Namun diantara maraknya pemberitaan yang meneybutkan konfflik horizontal yang berkedok SARA, mau tidak mau menjadikan film ini menduduki posisi yang penting.Bagimana menanamkan penghargaan terhadap keberagaman pada anak-anak, sejak dini.
Terlepas berbagai kekurangan teknis serta lesunya iklim perfilman sehingga masih relative sedikit penonton yang menyaksikan Berandal dan rumah, namun kedua film tersebut semoga mampu jadi pendorong untuk pembuat film untuk terus melahirkan karya-karya yang tidak saja menghibur tapi juga mengandung pesan sosial, yang syukur-syukur mampu menyuntik masyarakat penonton untuk berperilaku positif.
Saat ini, kedua film tersebut masih diputar.Belum terlambat jika anda bersama keluarga menyaksikan kedua film tersebut.

Selamat menyaksikan.