Kamis, 07 April 2011

Departures, Puisi Kematian Yang Menggelitik


Ketika pengumuman Piala Oscar 2009 lalu menyebutkan Departures sebagai peraih film berbahasa asing terbaik (The Best Foreign Movie), saya langsung penasaran mencari filmnya. Alasanya sederhana saja, saya suka film asia dan penasaran pengen tahu kayak apa film yang dianggap terbaik ini. Apalagi ketika saya cari data, ternyata film ini juga memenangkan sejumlah penghargaan di Jepang sana.

Setelah sempat mencari namun tidak berhasil menemukan, secara tidak sengaja seminggu yang lalu saya berhasil menemukan dvdnya.

Ceritanya terbilang sederhana. Mengenai seorang pemain cello, yang beristrikan pembuat we. Karena group orkestra tempat pemain cello ini bubar, maka ia bersama istrinya pulang ke kampung halaman, tinggal di rumahnya yang kini kosong. Ibunya meninggal, ayahnya pergi meninggalkan keluarga, ketika ia berusia 6 tahun.

Memulai hidup baru di kampung halaman, ia melamar pekerjaan yang memberi kata petunjuk 'Departure' pada iklan yang dipasang. Ia menduga, iklan lowongan kerja pada sebuah tour and travel. "Mungkin menjadi tour guide" kata istrinya.

Ketika ia temui, ternyata pekerjaan yang tersedia sebagai asisten pada sebuah biro jasa penyiapan jenazah, sebelum di makamkan.

Sampai sini, dimulailah sebuah cerita yang sangat inspiratif, gambar-gambar puitis nan simbolik serta dialog-dialog sederhana yang sangat menyentuh dan 'melelehkan air mata'.

Departures telah memberi pengertian yang 'manis' mengenai kematian, melalui satu persatu 'upacara' persiapan jenazah yang dilakukan tokoh utama. Mulai dari seorang lelaki yang atas kehendak orang tua dimakamkan sebagai wanita (karena semasa hidupnya, lelaki tersebut selalu ingin jadi wanita), seorang ayah yang seluruh wajahnya ditempel bibir oleh anggota keluarganya sambil tertawa dan menangis hingga seorang anak yang meminta maaf di depan jenazah ibunya yang semasa hidupnya kerap ribut dengannya. Ditambah lagi dialog penjaga rumah kremasi yang bicara mengeai kematian. "Pembakaran ini seperti gerang, menuju kehidupan lain. Oleh karena itu, sebelum membakar jenazah, saya selalu membisikan, "sampai ketemu lagi".  
Dengan sangat manis, Departures juga menggambarkan betapa pulang ke kampung halaman, memulai hidup baru bukanlah hal sederhana. Di atas jembatan, tokoh utama film ini menyaksikan ikan-ikan samon yang berusaha melawan arus, tetap berenang. Beberapa ikan tampak mengambang, mati. Seorang tua yang melwati jembatan itu berkata, "Mereka sangat ingin kembali ke tempat mereka dilahirkan. Walau tidak semua berhasil" (dalam hati, saya tersenyum. Inget fenomena mudik di negri tercinta).

Departures juga bicara mengenai kehilangan pekerjaan, memulai hidup dengan pekerjaan yang dianggap 'tidak pantas' dan bagaimana mempertahankan kecintaan akan pekerjaan.

Akting beberapa pemain utamanya mampu mengantar emosi yang ada dengan baik. Sangat baik, bahkan. Satu-dua teman saya, menyembunyikan diri ketika tertangkap basah menangis. Dengan ekspresi yang sangat tidak berlebihan, rasa jijik ketika harus menangani mayat seorang nenek yang telah 2 (dua) hari meninggal,  tanpa menunjukan gambar mayat yang membusuk atau rasa sesal seorang anak tanpa tangis yang meraung-raung. Hanya dengan menyatakan, "ma, i'm sorry".

Ah, maafkan saya jika terlalu mendetail atau merusak kenikmatan anda menonton, nantinya....

Saya ingin menutup note saya dengan perkataan sang sutradara, saat diwawancarai sebuah media, " I was dealing purely with the project, without trying to be “too art-house” or “too commercial.”...

Selamat, anda berhasil!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar