Ine Febrianti: Teater itu Asyik
August, 4th 2011 | by Iwan Setiawan | 0
Photo by: Dokumentasi Istimewa
Selanjutanya, Ine Febrianti justru malang melintang di dunia teater, dengan terlibat dalam pementasan teater Miss Julie bersama Teater Lembaga, lalu bermain dalam teater opera Primadona Teater Koma, hingga terlibat dalam pementasan teater yang berkolaborasi dengan seniman asal Jepang mementaskan sebuah teater yang berjudul The Whale on the South Sea. Setelah vakum 7 tahun, kini ia kembali mementaskan sebuah monolog, yang ditangani oleh Sitok Srengenge.
Bisa cerita keterlibatan dalam pentas monolog Surti ini?Pementasan akhir Juli lalu sebetulnya adalah pementasan ulang, dari pertunjukan sama yang dipentaskan pada 2010. Waktu itu, Mas Sitok datang dengan membawa naskah monolog tersebut. Tanpa pikir panjang, saya langsung mengiyakan. Tidak banyak pertimbangan. Kalaupun ada pertimbangan, ya mungkin ada rasa dari dalam hati saya yang tiba-tiba rasanya bergejolak. Mungkin, adrenalin saya kembali terusik. Bukan apa-apa, ini adalah pentas saya yang pertama setelah vakum 7 tahun. Setelah menikah, saya praktis tidak main teater dan hanya aktif di film.
Jadi sempat vakum 7 tahun, ya?Iya, karena saya selalu fokus dalam mengerjakan apa saja. Begitu juga dengan rumah tangga. Saya merasa dunia teater adalah hal yang memerlukan keseriusan tingkat tinggi. Lebih-lebih membina rumah tangga. Namun, ketika menghadapi naskah Surti ini, sebagai anak gunung, saya seperti dihadapkan ajakan untuk kembali naik gunung. Saya tahu akan sulit, apalagi ini monolog. Tapi, saya juga tahu hal ini akan sangat menyenangkan.
Surti ini pentas monolog yang pertama kali buat Anda, ya?Iya, terbilang nekad sebetulnya, karena tingkat kesulitannya sangat berlapis. Pertama, dari segi naskah saja memiliki makna yang sangat mendalam. Dari segi kata-kata, bisa jadi sederhana, bahkan biasa. Tapi, jika dibaca lagi, ada kandungan makna yang mendalam dan beraneka warna. Semuanya harus saya mainkan dengan sangat tepat. Saya mendapat pengarahan untuk membawakan naskah ini dengan penuh intensitas, tapi bukan berarti teriak-teriak. Justru sangat pelan, sehingga kalau saya gagal memainkan dengan baik, dijamin penonton bakal tidur. Untuk itu, saya harus bisa main baik.
Dalam monolog tersebut, setidaknya saya memainkan 10 karakter, dengan 3 di antaranya adalah sebagai burung. Ditambah lagi, naskah ini juga menuntut saya untuk menari. Jujur, saya tidak bisa menari. Namun, karena rajin yoga, sedikit-banyak tubuh saya lebih terbantu ketika mendapat pelatihan-pelatihan tari.
Anda baru saja menyelesaikan pentas malam pertama. Apa komentar penonton?
Banyak yang menonton malam pertama saya, juga menonton ketika pentas ini digelar tahun lalu. Menurut mereka, tahun ini saya jauh lebih baik, lebih rileks. Tapi, saya sendiri justru merasa kurang maksimal. Saya pilek,batuk sehingga vokal saya kurang maksimal.
Banyak yang menonton malam pertama saya, juga menonton ketika pentas ini digelar tahun lalu. Menurut mereka, tahun ini saya jauh lebih baik, lebih rileks. Tapi, saya sendiri justru merasa kurang maksimal. Saya pilek,batuk sehingga vokal saya kurang maksimal.
Apa sih dari dunia teater yang bikin Anda sepertinya sangat excited?Ketika awal keterlibatan dalam dunia teater, saya mendapati bukan sekadar sebuah seni peran yang kemudian dipentaskan. Teater adalah juga sebuah terapi bagi siapa saja, termasuk saya yang memerlukan keseimbangan dalam hidup. Banyak hal tidak kita dapati dalam kehidupan nyata, kita bisa merasakan dalam dunia teater. Saya merasa banyak terbantu karena terlibat dengan teater. Namun, sejalan dengan pendewasaan, saya kini melihat teater lebih sebagai sebuah sekolah yang mengajarkan saya banyak hal. Selama 7 tahun vakum dari dunia teater, saya justru aktif dalam dunia film. Saya terlibat dalam film dokumenter maupun film fiksi.
Wah, setelah pernah jadi bintang film,kini malah bikin film ya. Bisa cerita soal filmnya?Judulnya Tuhan Pada Jam 10 Malam. Saya bekerja dengan kesenangan sebagai penggerak. Begitu juga dengan film ini. Saya tidak berniat untuk ikut festival, bisa ditonton orang banyak, tidak untuk tujuan itu semua. Dalam film ini, saya menjadi sutradara sekaligus penulis.
Ceritanya sederhana, bahwa dalam diri setiap manusia selalu ada tarik-menarik antara kebaikan dan sebut saja sisi lainnya adalah keburukan. Melalui tokoh seorang guru moral yang sangat lurus, kita juga melihat adanya tarikan yang tidak kalah kuat dalam dirinya untuk berbuat sesuatu yang berlawanan dengan sisi kebaikan tersebut.
Bagaimana tanggapan teman-teman yang sudah menonton?
Mereka sih bilang bagus. He-he. Bahkan banyak yang meminta film tersebut untuk dibuat lebih panjang. Namun, saya menolak. Kalau mau buat film, saya memilih untuk membuat film baru.
Mereka sih bilang bagus. He-he. Bahkan banyak yang meminta film tersebut untuk dibuat lebih panjang. Namun, saya menolak. Kalau mau buat film, saya memilih untuk membuat film baru.
Jadi, akan ke mana Anda setelah ini? Main teater, bikin film, atau ada hal baru?Saya akan mencoba fokus dan konsentrasi dengan apa yang saya kerjakan sekarang. Saya memilih untuk berada di satu tempat tapi menghasilkan yang terbaik, daripada mencoba banyak hal tapi kehilangan kedalaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar