dimuat majalah GARUDA inflight
Film
Bersemi di Kampus
Lewat film Pupus, Rizal Mantovani kian menegaskan fokusnya di genre drama remaja. Kisahnya sederhana, tapi tata artistiknya bagus. Oleh Iwan Setiawan
Pada akhir 70-an, film-film dengan latar kehidupan kampus sempat marak di Indonesia. Beberapa di antaranya yang berhasil mendulang sukses, baik secara artistik maupun jumlah penonton, adalah Cintaku Di Kampus Biru (1976) dan Badai Pasti Berlalu (1977).
Sukses memulai demam horor lewat Jelangkung, sutradara Rizal Mantovani kini mencoba mengembalikan genre film kampus lewat film Pupus.
“Tidak ada salahnya belajar dari sejarah Jelangkung, salah satu film horor terlaris yang idenya diambil dari film horor Indonesia tempo dulu. Maka saya optimis juga bisa membuat film tema kampus di masa kini dan sukses seperti dulu,” ujar Rizal.
Film dibuka dengan ingar-bingar kehidupan di sebuah universitas favorit di Jakarta saat berlangsungnya penerimaan mahasiswa baru. Di sini kita diperkenalkan pada sosok Cindy (Donita), mahasiswi asal Lampung yang nekat berkuliah di Jakarta meski dilarang ibunya.
Para senior kemudian menyuruhnya mencari mahasiswa lain yang memiliki tanggal ulang tahun sama dengannya, lalu mengajaknya merayakan hari kelahiran bersama. Muncullah sosok kedua yang bernama Panji (Marcel Chandrawinata), mahasiswa yang cenderung menghindari pesta ulang tahun.
Cindy cantik, Panji rupawan. Sampai di sini, jalan cerita mudah ditebak: Cindy dan Panji menjalin cinta. Konflik muncul ketika Panji justru menghindar dan tidak pernah menyatakan langsung perasaannya, bahkan ketika Cindy berpaling pada pria lain. Hingga akhirnya Cindy memutuskan untuk fokus pada kuliah sekaligus membuktikan dirinya bukan gadis manja asal daerah yang memburu cinta di kota besar. Adegan tarik-ulur perasaan di antara kedua remaja ini jadi bumbu drama yang mengocok hati penonton.
Film ini sukses menjadikan kehidupan kampus latar yang hidup.
Dalam durasi 90 menit, sutradara menguraikan kehidupan lima tahun para tokohnya, mulai dari pendaftaran mahasiswa hingga lulus. Perhatian kru artistik terhadap detail layak diacungi jempol. Kita bisa menyaksikan perubahan potongan rambut, gaya berbusana, maupun pendewasaan emosi pada para tokoh film.
Alur film yang ditulis Alim Sudio ini juga mengalir mulus dengan plot yang mudah diikuti.
Dialognya cukup menyentuh dan tidak murahan. Pupus adalah karya kedua Alim Sudio bersama Rizal Mantovani. Sebelumnya mereka menggarap drama berjudul Ada Kamu, Aku Ada. “Menyajikan sesuatu yang sederhana bukan berarti gampangan. Karena naskah cerita ini sempat mengalami beberapa kali pembongkaran serta melewati tes kelayakan yang ketat, demi menjadikan film ini riil, sekaligus dramatis,” tutur Alim.
Rizal mengklaim, film yang judulnya diambil dari lagu grup musik Dewa ini hanya memiliki satu tujuan: menghibur para remaja. Maklum, segmen ini adalah penonton film nasional yang paling setia. Meski begitu, Rizal tak lupa menyisipkan pesan-pesan positif yang simpel bagi penonton.
”Ini memang film hiburan,” ujarnya. ”Namun bukan berarti tanpa pesan.”
jadi pengen nonton nih :)
BalasHapus