Pesan Pluralisme
dalam film anak-anak
Berandal
di Seribu Ombak
Film,
sewajarnya memang tidak sekedar dilihat sebagai media hiburan belaka. Dengan
segala pesona audio – visual serta daya jangkau yang luas, memiliki kekuatan
untuk membawa pesan baik yang ditularkan kepada siapa saja yang menyaksikan.
Penyampaian pesan ini juga kelak kemudian diharapkan mampu tersimpan dalan
benak, menjadi spirit dalam setiap
pemikiran,rasa dan perilaku. Pada akhirnya berujung pada sebuah
perubahan kearah perbaikan dalam diri setiap orang, sebuah keluarga, masyarakat
bangsa hingga dunia.
Sebagai
cionton, salahh satu film yang dianggap membawa pesan untuk lingkungan hidup
dan berhasil menggugah seisi dunia, adalah film karya Mantan Wapres Amerika
serikat yang berjudul An Inconvenient
Truth. Filmdokumenter ini ikut membukakan mata warga dunia terhadap dampak
pemanasan global sekaligus menyemarakan aksi untuk lebih mencinta lingkungan.
Baru-baru
ini ada hawa segar yang ditawarkan pada film anak- anak yang saat ini sedang diputar di
bioskop-bioskop se Indonesia. Yaitu, pesan keberagaman yang dibawa oleh Berandal
Berandal Ciliwung (Guntur Soeharjanto) dan Rumah di Seribu Ombak (Erwin
Arnada). Dengan segala kekhasan masing-masing, kedua film tersebut mampu
menyisipkan hiburan diantara pesan keberagaman atau sebaliknya. Dengan
demikian, penonton, terutama anak-anak , dapat menerima, memahami ssekaligus
terhibur dalam menikmati film tersebut. UUntuk beberapa hal, memang Rumah di
Seribu Ombak sepertinya lebih ‘berat’. Namun Berandal Ciliwung, dengan caranya
yang berbeda dapat dikatakan juga mampu membawakan pesan keberagaman dengan
tetap menghibur.
Berandal
Ciliwung diangkat dari novel yang beredar pada tahun 70an, karya Ahmad S
Spirit, yang ditulis ulang dalam versi scenario film oleh Alim Sudio. Film ini
mengisahkan persahabatan antara 5 orang anak berbeda asal-usul dan latar
belakang yang sama-sama tingga di sekitar Kali Ciliwung. Mereka adalah Tirto
yang berasal dari Jawa, Timur, yang berasal dari Papua, Adam asli betawi, Umar berdarah Arab
dan Raja yang keturunan suku Batak. Di
pertengahan film, juga dikenalkan tokoh Sisy, seorang anak perempuan keturunan
China.
Mereka
bersama-sama saling bahu membahu melewati berbagai ujian yang memecahkan
persatuan mereka. Sepanjang film dipadati berbagai pesan positif, seperti
kebersihan, yang digambarkan melalui aksi kebersihan kali Ciliwung, kepedulian
dan kebersamaan melalui Festival tahu hingga kerjasama dan keberagaman yang
dinyatakan melalui lomba rakit. Tirto dan kawan-kawan berhasil memenangkan
lomba rakit lantaran mengusung hiasan rakit bertemakan keberagaman.
Dalam
kerangka bangun cerita serta karakter yang bermain di dalamnya, dapat kita
lihat dengan jelas betapa Berandal membawa pesan yang sangat strategis. Melalui
film ini, sejak dini anak-anak telah dikenalkan oleh ‘sedikit’ keragaman yang
ada di Indonesia, lengkap dengan hhiburan yang tentu saja membuat mereka tidak
bosa dalam menyaksikannya.
Pengenalan
terhadap sejumlah suku di Indonesia, walau hanya beberapa dan melalui tampilan
yang sangat stereotype, sedikit banyak telah membantu anak-anak untuk lebih
mengenal dan menghargai adanya suku-suku di Indonesia.
Dengan
pendekatan dan objek yang berbeda, Rumah juga menawarkan issue keberagaman.
Berbeda dengan Berandal yang membidik perbedaan antar Suku, Rumah mengedepankan
persahabatan antar 2(dua) anak yang berbeda agama. Sejak awal, film ini menyajikan persahabatan Yanik
dengan Samihi. Mereka adalah dua anak bertetangga kampung di Singaraja.
Mereka punya banyak perbedaan. Samihi berasal dari keluarga Muslim, rajin
mengaji, dan sangat takut air, sedangkan Yanik yang beragama Hindu, putus
sekolah, bekerja di laut, dan berteman dengan lumba-lumba. Namun, kedua bocah
ini bersahabat dan saling menguatkan satu sama lain untuk menghadapi mimpi-mimpi
buruk mereka.
Dari sisi penuturan, bisa jadi jadi Rumah
terkesan lebih berat. Apalagi Rumah juga menyinggung issue perilaku turis yang
kerap berhubungan seks dengan anak-anak. Namun tanpa bermaksud menjadi serius
yang berlarut-larut, Rumah juga menyisipkan kisah cinta dan meski berakhir
tragis, namun cukup manis lantaran berhiaskan gambar-gambar yang indah. Maklum,
Rumah mengambil lokasi syuting di Singaraja –Bali.
Beradal-Berandal
Ciliwung dan Rumah di Seribu Ombak, telah mengambil posisi yang penting
diantara perselisihan SARA yang arak belakangan ini. Dengan segala potensi yang
ada, SARA juga sangat rentan untuk ditunggangi oleh berbagai kepentingan, baik
itu persialan pribadi, antar golongan dalam masyarakat baik melibatkan agama
atau ekonomi hingga rebutan kursi di panggung politik. Berbagai kasus
pertikaian yang terjadi sepanjang Pilkada DKI serta kerusuhan sampang baru-baru
ini, adalah contoh kecil betapa maraknya persoalan SARA diantara kita.
Satu
sisi, bisa jadi ada pihak yang menganggap pengharapan dan apresiasi saya
terhadap kedua film tersebut berlebihan. Namun diantara maraknya pemberitaan
yang meneybutkan konfflik horizontal yang berkedok SARA, mau tidak mau
menjadikan film ini menduduki posisi yang penting.Bagimana menanamkan penghargaan
terhadap keberagaman pada anak-anak, sejak dini.
Terlepas
berbagai kekurangan teknis serta lesunya iklim perfilman sehingga masih
relative sedikit penonton yang menyaksikan Berandal dan rumah, namun kedua film
tersebut semoga mampu jadi pendorong untuk pembuat film untuk terus melahirkan
karya-karya yang tidak saja menghibur tapi juga mengandung pesan sosial, yang
syukur-syukur mampu menyuntik masyarakat penonton untuk berperilaku positif.
Saat
ini, kedua film tersebut masih diputar.Belum terlambat jika anda bersama
keluarga menyaksikan kedua film tersebut.
Selamat
menyaksikan.