Film
Pencarian di Wakatobi
Pemerintah daerah Wakatobi mensponsori pembuatan film yang menampilkan keindahan pulau-pulaunya. Karya cerdas yang mengetuk kesadaran kita akan kayanya laut Indonesia.
Andaikan penonton tidak menyukai jalan cerita film ini, mereka bisa dipastikan bakal terbuai oleh setting-nya. Disyuting di Wakatobi, salah satu surga diving di Indonesia, The Mirror Never Lies adalah film yang dibuat bersama oleh tiga pihak: Pemerintah Kabupaten Wakatobi, organisasi lingkungan WWF, dan SET Film. Salah satu misinya adalah menegur kesadaran nasional akan pentingnya menjaga laut Nusantara. Walau membawa pesan sponsor, film ini tidak lantas jatuh menjadi kumpulan nasihat. Kisahnya dimulai oleh seorang gadis bernama Pakis yang mencari ayahnya yang hilang kala mengembara di laut lepas. Keyakinannya diperkuat oleh keberadaan sebuah cermin yang dapat meramalkan kedatangan sang ayah. Konflik kemudian muncul setelah Ibunda Pakis, Tayung (Atiqah Hasiholan), justru menginginkannya mengubur harapan akan ayahnya.
Tak mengindahkan pesan sang ibu, bersama temannya, Lumo, Pakis lalu memulai ekspedisi pencarian. Muncullah kemudian Ludo (Reza Rahadian), peneliti asal Jakarta yang mengunjungi Wakatobi demi melarikan diri dari masalah pribadi sekaligus menyalurkan kecintaannya pada lumba-lumba. Keempat tokoh tersebut—Pakis, Tayung, Lumo, dan Ludo—kemudian bertemu dan saling memberi arti satu sama lain, termasuk pada laut yang melingkupi hidup mereka. Cinta yang hilang, harapan, dan pencarian menjadi bumbu yang mewarnai drama dalam film ini.
Selama 30 hari syuting, Kamila Andini selaku sutradara mengaku kewalahan dengan medan Wakatobi. “Selain cuaca yang seringkali hujan, lokasi syuting kami nyaris sepenuhnya di laut, hal ini tentu saja menjadi kesulitan tersendiri,” kenangnya.
Film yang dibuat dengan ongkos sekitar Rp4 miliar ini membuai penonton dengan gambar-gambar cantik: pantai pasir putih, ikan aneka warna, dan pulau-pulau yang terhampar di atas laut turkuois. Yang tak kalah menarik, The Mirror Never Lies juga mengantar penonton mengunjungi perkampungan Suku Bajo yang mendiami Wakatobi. Rumah-rumah yang berdiri di atas laut dan kepercayaan mereka terhadap hal-hal mistik dikemas dalam sinematografi yang menarik.
Namun Kamila Andini tak ingin menjadikan filmnya sebuah karya dokumenter yang melulu menyajikan gambar menawan. “Saya ingin film ini bisa dinikmati semua kalangan dan menjadi sebuah pernyataan terhadap sebuah jati diri bangsa kita, bangsa maritim, yang mungkin telah dilupakan,” kata putri dari sutradara papan atas Garin Nugroho ini.
Akting Atiqah patut diacungi jempol. Wanita cantik yang menjadi bintang iklan sabun ini tidak segan melumuri wajahnya dengan bedak tebal, kebiasaan khas wanita Bajo saat melaut yang bertujuan menangkal terik matahari. Tentunya tidak mudah baginya untuk menunjukkan ekspresi dan emosi dengan wajah celemotan.
Film ini juga menampilkan tiga pemain cilik asli Suku Bajo di Wakatobi, yakni Gita Lovalista, Inal, dan Eko. Meski baru pertama kali beraksi di depan kamera, mereka terlihat sangat natural dalam membawakan naskah. “Kami sempat berencana menggunakan artis cilik asal Jakarta yang sudah lolos seleksi, namun ketika pengambilan gambar di lokasi, anak-anak itu sangat kesulitan untuk sekadar berjalan di atas jembatan kayu dan berdiri di rumah yang terletak di tengah laut,” jelas Kamila Andini. Suku Bajo kerap dijuluki kaum gipsi laut. Laut merupakan habitat sekaligus sandaran hidup mereka. Suku ini bahkan memiliki tradisi mencemplungkan anak-anak ke laut tak lama setelah dilahirkan.