Di Sumatera, Erupsi Gunung Sinabubng belum selesai
Di Jakarta, setiap rintik hujan masih memancing ketakutan akan banjir yang kembali datang
Di Kediri, Erupsi Gunung Kelud menyemburkan debu hingga sejauh ribuan kilometer
Obrolan saya dengan seorang teman, telah mendorong saya untuk menuliskannya pada halaman blog ini. Teman saya, dikenal sebagai sukarelawan apa saja. setiap kali ada kegiatan sosial, pasti dia ikut. Entah ikutan bagi-bagi bantuan atau sekedar foto bareng korban yang lalu di upload ke instagram,path dan lainnya.. Pokoknya dia eksis as selebritis , sukarelawan. Jika ada orang yang 'semangat' tiap kali ada bencana, ya dia ini orangnya.
Namun pagi tadi, ia mengeluh. Dengan nada yang sangat serius dan penuh perenungan.
"Apa sih maunya, ya ?"
Saya terdiam. walau cuma ada kami berdua, saya tidak merasa ia sedang bertanya kepada saya.
"Belum selesai yang satu, sudah datang yang lain. Hiruk -pikuk "
Saya tidak tahan embiarkan ia "ngomel" terus begitu.
"Kamu mau jawaban apa, semua ada" kata saya sekenanya.
"Secara ilmu pengetahuan, memang jakarta itu lokasinya di bawah bogor, ditambah hujan juga memang sedang musim. mau apa lagi. banjir lah... Sedangkan soal gunung, aku rasa kamu juga bukan tidak tahu khan, kalau Indonesia memang berada pada cincin api. Sepanjang jengkal negri ini ada gunung yang kapan saja bisa meletus "
Teman saya tersenyum sinis
"Mengaku Pandita, jawaban kok sok-sok an ilmiah "
Saya terdiam sejenak.
"Kamu mau aku ceramah ? semua ini bukan hal-hal yang perlu diskusi. Sementara kita diskusi, ada berapa pihak di luar sana yang perlu bantuan. Biasanya, hari ini kamu sudah dalam perhalanan ke Gunung Kelud, kurasa "
Dalam hati saya sebetulnyamereka-reka, mengarang-ngarang dan terus berpikir. Apa jawaban dari seorang pandita mengenai bencana alam yang terus beruntun ini.
Paling mudah, adalah kalau saya bilang bahwa ada kekuatan di luar sana yang sedang memberi ujian, cobaan atau apa saja yang sifatnya datang dari luar sana. bukan alam, bukan juga akibat manusia.
Lalu buat apa kekuatan itu mencoba-coba ?
iseng amat.
Ada juga jawaban yang sepertinya agak lebih berisi. yaitu alam sedang murka karena kelakukan manusia yang semakin ga bisa ditolelir. Pengrusakan terhadap alam semakin tidak terkendali.
Lalu, alam membalas, dengan merusak hidup manusia ?
Alam, kok dendam_an.
Perlahan dalam kepalaku berkelebat bayangan berupa cuplikan berita, guntingan koran, suara di radio apa saja. mereka bertumpuk. tentang Para politisi yang menyerang lawan politiknya yang dianggap tidak becus memimpin. Sementara yang dituding balik menyalahkan warga nya yang melulu buang sampah sembarangan serta sembarangan tinggal di bantaran sungai yang menyebabkan banjir. di sisi lain, ya.. itu. para ilmuwan menguraikan dengan detail mengenai teori dataran tinggi, curah hujan dan sebagainya.
Saya ingat ajaran guru saya mengenai teori agama Buddha yang menyatakan bahwa manusia dan alam adalah satu. bukan 2 hal terpisah. bahkan tubuh manusia adalah representasi dari sebuah mini alam semesta. dengan sangat mendetail, guru saya menjelaskan soal rambut dan bulu yang bagai hutan, daging umpama tanah serta pembuluh darah yang layaknya aliran sungai, dan sebaginya....dan sebagainya...
Mansuai dan alam bagai badan dan bayangan cermin, yang gerakan yang satu akan mempengaruhi yang lain. Tidak heran jika ada perkataan kepakan kupu-kupu di kutub utara saja mampu mempengaruhi perubahan cuaca di kutub lainnhya.
Sementara saya masih terus berasik-asik mencari teori apa yang bisa menjelaskan bencana ini semua, ....
"Aku pamit ya," kata temanku yang kini sudah tampak sudah siap dengan mengenakan jaket oranye kesayangannya, celana dengan banyak kantong bermotif loreng serta sebuah ransel di punggung.
"Mau ke mana ?"
"Tadi aku BBm-an sama teman kuliah dulu yang jadi humas di sebuah perusahaan farmasi. Aku tawarkan program CSR untuk perusahaannya dengan membagikan gratis alat-alat kesehatan, obat dan tenaga medisnya sekalian untuk korban bencana abu vulkanik ini di beberapa daerah yang terkena dampak abu vulkanik"
"Kapan kamu minta nya ?
"Tadi, sambil ngobrol sama kamu, aku bbm-an. Merekaa setuju,asal aku berangkat untuk mengawal bantuan tersebut langsung ke korban. "
Saya terdiam.
Sebetulnya saya sudah menemukan teori yang tepat untuk menjelaskan kejadian alam ini. Namun rasanya ia memang tidak butuh penjelasan mengenai apa yang terjadi.
siapa juga yang butuh ....
14 02 2014
Xeti @ Work
Jumat, 14 Februari 2014
Senin, 01 April 2013
kafe kok jual jamu
Kedai Jamu dan Kopi : Suwe Ora
Jamu
Menu From the Past For Today
People.
Minuman berkhasiat dari masa lalu, Inetrior
berwarna alam dan musik tahun 80an.
Suwe
Ora Jamu, ungkapan dari bahasa Jawa yang secara bebas bisa diartikan lama tidak
bertemu. Namun kata ‘Jamu’ juga
merupakan sejenis minuman yang berkhasiat untuk mengobati penyakit tertentu
atau sekedar menyehatkan. Dibuat dari berbagai jenis tanaman dan telah
diwariskan secara turun temurun selama berabad-abad-abad. Dengan demikian, Suwe
Ora jamu adalah tempat yang tepat jika ingin bertemu teman, untuk sekedar
bercengkrama melepas lelah dari penatnya ibukota. Karena minuman yang
menyehatkan,bahkan dipercaya juga mengobati penyakit tertentu bakal siap
tersaji. Seperti Jamu sehat Pria, Wanita hingga anak-anak, pegal-pegal, masuk
angin hingga batuk.
Ketika
JakartaGlobe berkunjung, hari sedang turun hujan. Bermaksud menghangatkan diri
dan tidak mau terlalu kenyang, langsung memasan bubur kacang hijau. Hangatnya
cukup untuk mengusir dingin dibadan lantaran sempat terkena hujan. Rasa
manisnya tidak terlalu menyengat dipadu dengan gurihnya santan. Sambil
menghirup, saya sempat tersenyum sendiri karena piring yang digunakan sebagai
dasar mangkok adalah sebuah piring kaleng , serupa dengan yang pernah saya
pakai sewaktu masih kecil, tinggal di Tangerang.
Sejumlah
barang-barang bernuansa masa lalu memang cukup mendominasi. Selain dipakai
untuk menyajikan makanan juga sepeda tua di bagian depan dan sebuah lemari kayu
berisi peralatan rumah tangga masa lalu, seperti gelas, teko dan rantang
makanan. Di Meja kasir juga diletakan sebuah mainan masa lalu yang cukup
menghibur sambil menanti kasir menghitung tagihan.Oh, ya…sejumlah toples yang
digunakan untuk menyajikan jamu dan kopi serta bahan-bahan untuk membuat jamu juga
bernuansa masa lalu.
Kesan
masa lalu makin menguat dengan iringan musik tahun 80an, seperti Debby Gibson, Natasha
Bedingfield hingga Pet Shop Boys.
Barang-barang
masa lalu tersebut berpadu dalam interior ruangan yang didominasi warna-warna
alamiah, seperti tembok yang disengaja memperlihatkan merahnya baru bata,
meja-meja kayu dengan urat alami dari kayu tersebut sangat menyejukan.
Selesai
menghabiskan bubur kacang hijau, Uwi Mathovani, pemilik Suwe Ora Jamu menamni
dan menawarkan saya untuk mencoba Jamu Ginseng Prakoso. Tak lama kemudian
datanglah sebuah gelas jamu berukuran
sedang, segelas air putih dan saru lagi gelas yang berisikan air berwarna agak
kuning. Walau tidak ada aturan yang mengikat, biasanya saya meminum jamu dalam
sekali teguk, yang langsung disambung dengan pamanis dan ditutup dengan air
putih.
Jamu
memang memiliki rasa yang pahit, bahkan cenderung getir. Oleh karena itu
diperlukan pemanis untuk memberi kesegaran.
“Awalnya
kami ragu karena jamu memang memiliki rasa yang pahit. Namun beberapa waktu
lalu pernah ada sekelompok anak muda
pengendara scooter mampi r dan sengaja mencoba jamu. Mereka malah senang, bahkan menjadikan rasa pahit tersebut sebagai
tantanga satu sama lain.” Tutur Uwi.
Selain
menyajikan jamu yang secara rasa dan ramuan dipertahankan dari resep aslinya,
Suwe ora jamu juga menyajikan sejumlah jamu lain yang lebih bersahabat, seperti
Green Tamarind (
campuran jus sayuran hijau dan kunyit asam ), Bloody Tamarind ( campuran jus
Buah Beet segar dan kunyit asam ), Pure Vera ( campuran sari alang-alang dan
lidah buaya ) dan Pretty Red Rosella ( campuran sari bunga Ronersella dan buah
leci ).
Uuntuk racikan jamu,
menyadari Uwi sebagai Graphic designer, ia mempercayai pada produk jamu Iboe yang dibuat di Surabaya. “Saya telah
datang ke pabriknya dan jamu ini masih terbuat dari daun-daunan serta tanaman
segar”.
Uat anda yang bukan
pecinta jamu, namun ingin menikmati ambience dan musik di kafe ini, bbisa
memesan kopi. Suwe Ora Jamu menyiapkan kopi dari aceh dan kopi aroma yang telah
cukup dikenal sebagai merk kopi legendaries asal Bandung.
Selain jamu Minuman
herbal dan kopi, Suwe Ora Jamu juga
menyediakan sejumlah makanan yang ringan, seperti pisang goring dan roti
bakar.Kalau mau yang mampu mengenyangkan
tersedia nasi goreng dan nasi bakar.
Tanpa terasa, hampir
dua jam saya telah berada di kafe yang terletak di jl Petogogan 28 ini. Mulai
dari kacang hijau yang menghangatkan, jamu yang menyehatkan hingga meniuman
yang menyegarkan, telah masuk saya cicipi.
Kedai Jamu dan Kopi
Suwe Ora Jamu bagai sebuah mesin waktu berukuran kecil yang mampu membawa
pengunjungnya ke masa lalu, baik dengan penataan interior maupun minuman dan
makanan yang disajikan. Pertumbuhan ekonomi boleh melaju pesat, begitu juga
dengan kemajuan teknologi yang makin menggila. Namun sesekali manusia perlu
berhenti sejenak, menikmati dan memaknai
kembali tradisi dari masa lalu.
Menyadari diri punya akar. Hingga tidak terhempas dalam kerasnya angin
perubahan.
Senin, 18 Februari 2013
i'm Back !
ah, setelah lama saya tinggalkan, akhirnya saya berknjung lagi ke blog ini. Terlalu lama ditinggalkan, terlalu banyak yang ingin dituliskan,-walau aku tahu tak banyak yang bakal membaca. hehehe...
Namun untuk kali ini saya mau membahas yang sekarang memang sedang berkelebatan di kepala saya, yaitu soal bagaimana TV menyajikan politik, baik dalam bentuk berita ataupun sajian bincang-bincang.
Mengapa hal ini membuat saya begitu gregetan ?
pertama, TV adalah media yang dengan segala kesaktiannya telah menjadi ruang publik. Pada TV lah masyarakat saling "bertemu' bersapa dan ngobrol . Suka atau tidak, TV juga jelas media yang membawa sajian informasi ke ruang-ruang setiap orang. Dari soal lokasi di mana makanan yang enak, hingga di mana ada hantu. Termasuk berita politik.
Saya termasuk orang yang telah lama secara rajin mengikuti issue politik apa saja. Hal yang menarik buat saya dari politik adalah, karena proses dan hasilnya senantiasa melibatkan banyak pihak dan berdampak luas. kalau saja saya bisa mempelaari dan ikut ;'berpartisipasi', mungkin bisa memberi hal yang saya punya. Makanya saya rajin mengikuti dan sesekali ikut menimpali.
Namun belakangan ini, sudah menjadi makin memuakan. Seorang teman, saya setuju, menonton TV saat itu sudah mrip dengan perilaku sadis. Menyeenangi diri sendiri disakiti.
Bagaimana tidak. Setiap tayang, hanya menyajikan keributan dan menebar pesimis yang seolah-olah negri kita bagai toko yang bakal bangkrut besok.Sejumlah orang yang katanya pemimpin, ditampilkan dengan gaya bicara yang sangat tidak bisa diterima akal sehat orang yang paling sederhana sekalipun. Dan lagi-lagi kita dipkasa percaya bahwa orang-orang itulah yang menjalankan negri ini.
Untunglah pergaulan saya tidak melulu dunia TV. Pertemanan saya dengan banyak pihak di alam nyata, memperlihatkan justru keseharian jauuuuuh lebih baik dari apa yang ditampilkan TV.
di alam nyata, kita temui Indonesiamasih rukun, sejahtera dan pemimpin kita pun orang-orang yang rajin bekerja untuk rakyat. Masih ada. Ga percaya ?
Matikan TV anda, dan mulai bertandang ke tetangga....ke RT dan RW anda. Mereka setidaknya asih punya harapan terhadap negri ini. Bukan seperti mereka yang muncul di TV.
sementara ini dulu ya.
terima kasih
ah, setelah lama saya tinggalkan, akhirnya saya berknjung lagi ke blog ini. Terlalu lama ditinggalkan, terlalu banyak yang ingin dituliskan,-walau aku tahu tak banyak yang bakal membaca. hehehe...
Namun untuk kali ini saya mau membahas yang sekarang memang sedang berkelebatan di kepala saya, yaitu soal bagaimana TV menyajikan politik, baik dalam bentuk berita ataupun sajian bincang-bincang.
Mengapa hal ini membuat saya begitu gregetan ?
pertama, TV adalah media yang dengan segala kesaktiannya telah menjadi ruang publik. Pada TV lah masyarakat saling "bertemu' bersapa dan ngobrol . Suka atau tidak, TV juga jelas media yang membawa sajian informasi ke ruang-ruang setiap orang. Dari soal lokasi di mana makanan yang enak, hingga di mana ada hantu. Termasuk berita politik.
Saya termasuk orang yang telah lama secara rajin mengikuti issue politik apa saja. Hal yang menarik buat saya dari politik adalah, karena proses dan hasilnya senantiasa melibatkan banyak pihak dan berdampak luas. kalau saja saya bisa mempelaari dan ikut ;'berpartisipasi', mungkin bisa memberi hal yang saya punya. Makanya saya rajin mengikuti dan sesekali ikut menimpali.
Namun belakangan ini, sudah menjadi makin memuakan. Seorang teman, saya setuju, menonton TV saat itu sudah mrip dengan perilaku sadis. Menyeenangi diri sendiri disakiti.
Bagaimana tidak. Setiap tayang, hanya menyajikan keributan dan menebar pesimis yang seolah-olah negri kita bagai toko yang bakal bangkrut besok.Sejumlah orang yang katanya pemimpin, ditampilkan dengan gaya bicara yang sangat tidak bisa diterima akal sehat orang yang paling sederhana sekalipun. Dan lagi-lagi kita dipkasa percaya bahwa orang-orang itulah yang menjalankan negri ini.
Untunglah pergaulan saya tidak melulu dunia TV. Pertemanan saya dengan banyak pihak di alam nyata, memperlihatkan justru keseharian jauuuuuh lebih baik dari apa yang ditampilkan TV.
di alam nyata, kita temui Indonesiamasih rukun, sejahtera dan pemimpin kita pun orang-orang yang rajin bekerja untuk rakyat. Masih ada. Ga percaya ?
Matikan TV anda, dan mulai bertandang ke tetangga....ke RT dan RW anda. Mereka setidaknya asih punya harapan terhadap negri ini. Bukan seperti mereka yang muncul di TV.
sementara ini dulu ya.
terima kasih
Minggu, 23 September 2012
Cita
– Citaku Setinggi Tanah
“Suatu
saat, saya akn membuat film anak-anak yang memang untuk anak-anak dan semua
hasil penjualan tiket akan dipersembahkan juga buat anak-anak”
Demikian
Eugene pandji, sutradara Iklan dan videoklip yang relative masih muda dan
sangat laris pernah membuat ‘sumpah. Film inilah, wujud nyata dari sumpah
tersebut.
Adalah
Agus, yang dengan berani untuk berbeda dengan teman dan anak-anak lain dalam
hal cita-cita yang ia inginkan. Ayahnya bekerja di pabrik tahu, ibunya adalah ibu rumah tangga
yang sangat mahir membuat tahu bacem. Suatu ketika, Guru di sekolahnya meminta
setiap siswa untuk membuat karangan mengenai cita-cita. Sementara teman lain
ingin jadi tentara, artis bahkan berbuat kebaikan untuk orang lain, Agus malah
kepingin makan di rumah makan khas Padang.
Bukan cuma asal omong, Agus pun memperjuangkan cita-citanya agar
menjadi kenyataan. Ia bekerja sebagai kurir pengantar tahu, ayam hingga mencari
keong di sawah. Sedikit demi sedikit ia kumpulkan dalam sebuah celengan bamboo
sambil terus membayangkan lezatnya makanan di Restoran khas padang. Ketika uang
mulai terkumpul, semua uangnya malah masuk ke dalam sumur. Agus pun resah.
Akankah Agus akhirnya berhasil menikmati hidangan khas rumah
makan padang ?Lalu bagaimana dengan tugas karangan yang diberikan gurunya
?bagaimana dengan teman-temannya ?
Film ini menjalani syuting selama 30 hari di Munthilan, sebuah
desa di kaki gunung Merapi, antara jogja dan Magelang. Seluruh pemain anak-anak
adalah anak-anak yang memang tinggal di daerah setempat. Mereka adalah M Syihab Imam Muttaqin, Rizqullah Maulana Daffa, Iqbal Zuhda Irsyad, Dewi Wulandari Cahyaningrum . Pilihan ini terasa tepat, karena ekspresi ,
dialek yang ditampilkan bisa sangat apa adanya. Sedangkan pemain-pemain yang
relative telah punya nama, seperti Donny Alamsyah, Nina Tamam hingga Dwi
Kuncoro mampu memberi nilai tambah film ini.
Kesederhanaan, bisa jadi benang merah dari film ini. Baik dari
segi teknis penggarapan maupun tema yang diusung. Kesederhanaan ini juga yang
akhirnya berhasil menawarkan pembeda dengan film anak-anak lain yang belakangan
memuat tema dengan narasi yang besar.Kesederhanaan juga yang akhirnya mewujud
sebagai keindahan yang paling alami.
Cita-cita ku setinggi tanah, dapat disaksikan 15 oktober 2012
Pesan Pluralisme
dalam film anak-anak
Berandal
di Seribu Ombak
Film,
sewajarnya memang tidak sekedar dilihat sebagai media hiburan belaka. Dengan
segala pesona audio – visual serta daya jangkau yang luas, memiliki kekuatan
untuk membawa pesan baik yang ditularkan kepada siapa saja yang menyaksikan.
Penyampaian pesan ini juga kelak kemudian diharapkan mampu tersimpan dalan
benak, menjadi spirit dalam setiap
pemikiran,rasa dan perilaku. Pada akhirnya berujung pada sebuah
perubahan kearah perbaikan dalam diri setiap orang, sebuah keluarga, masyarakat
bangsa hingga dunia.
Sebagai
cionton, salahh satu film yang dianggap membawa pesan untuk lingkungan hidup
dan berhasil menggugah seisi dunia, adalah film karya Mantan Wapres Amerika
serikat yang berjudul An Inconvenient
Truth. Filmdokumenter ini ikut membukakan mata warga dunia terhadap dampak
pemanasan global sekaligus menyemarakan aksi untuk lebih mencinta lingkungan.
Baru-baru
ini ada hawa segar yang ditawarkan pada film anak- anak yang saat ini sedang diputar di
bioskop-bioskop se Indonesia. Yaitu, pesan keberagaman yang dibawa oleh Berandal
Berandal Ciliwung (Guntur Soeharjanto) dan Rumah di Seribu Ombak (Erwin
Arnada). Dengan segala kekhasan masing-masing, kedua film tersebut mampu
menyisipkan hiburan diantara pesan keberagaman atau sebaliknya. Dengan
demikian, penonton, terutama anak-anak , dapat menerima, memahami ssekaligus
terhibur dalam menikmati film tersebut. UUntuk beberapa hal, memang Rumah di
Seribu Ombak sepertinya lebih ‘berat’. Namun Berandal Ciliwung, dengan caranya
yang berbeda dapat dikatakan juga mampu membawakan pesan keberagaman dengan
tetap menghibur.
Berandal
Ciliwung diangkat dari novel yang beredar pada tahun 70an, karya Ahmad S
Spirit, yang ditulis ulang dalam versi scenario film oleh Alim Sudio. Film ini
mengisahkan persahabatan antara 5 orang anak berbeda asal-usul dan latar
belakang yang sama-sama tingga di sekitar Kali Ciliwung. Mereka adalah Tirto
yang berasal dari Jawa, Timur, yang berasal dari Papua, Adam asli betawi, Umar berdarah Arab
dan Raja yang keturunan suku Batak. Di
pertengahan film, juga dikenalkan tokoh Sisy, seorang anak perempuan keturunan
China.
Mereka
bersama-sama saling bahu membahu melewati berbagai ujian yang memecahkan
persatuan mereka. Sepanjang film dipadati berbagai pesan positif, seperti
kebersihan, yang digambarkan melalui aksi kebersihan kali Ciliwung, kepedulian
dan kebersamaan melalui Festival tahu hingga kerjasama dan keberagaman yang
dinyatakan melalui lomba rakit. Tirto dan kawan-kawan berhasil memenangkan
lomba rakit lantaran mengusung hiasan rakit bertemakan keberagaman.
Dalam
kerangka bangun cerita serta karakter yang bermain di dalamnya, dapat kita
lihat dengan jelas betapa Berandal membawa pesan yang sangat strategis. Melalui
film ini, sejak dini anak-anak telah dikenalkan oleh ‘sedikit’ keragaman yang
ada di Indonesia, lengkap dengan hhiburan yang tentu saja membuat mereka tidak
bosa dalam menyaksikannya.
Pengenalan
terhadap sejumlah suku di Indonesia, walau hanya beberapa dan melalui tampilan
yang sangat stereotype, sedikit banyak telah membantu anak-anak untuk lebih
mengenal dan menghargai adanya suku-suku di Indonesia.
Dengan
pendekatan dan objek yang berbeda, Rumah juga menawarkan issue keberagaman.
Berbeda dengan Berandal yang membidik perbedaan antar Suku, Rumah mengedepankan
persahabatan antar 2(dua) anak yang berbeda agama. Sejak awal, film ini menyajikan persahabatan Yanik
dengan Samihi. Mereka adalah dua anak bertetangga kampung di Singaraja.
Mereka punya banyak perbedaan. Samihi berasal dari keluarga Muslim, rajin
mengaji, dan sangat takut air, sedangkan Yanik yang beragama Hindu, putus
sekolah, bekerja di laut, dan berteman dengan lumba-lumba. Namun, kedua bocah
ini bersahabat dan saling menguatkan satu sama lain untuk menghadapi mimpi-mimpi
buruk mereka.
Dari sisi penuturan, bisa jadi jadi Rumah
terkesan lebih berat. Apalagi Rumah juga menyinggung issue perilaku turis yang
kerap berhubungan seks dengan anak-anak. Namun tanpa bermaksud menjadi serius
yang berlarut-larut, Rumah juga menyisipkan kisah cinta dan meski berakhir
tragis, namun cukup manis lantaran berhiaskan gambar-gambar yang indah. Maklum,
Rumah mengambil lokasi syuting di Singaraja –Bali.
Beradal-Berandal
Ciliwung dan Rumah di Seribu Ombak, telah mengambil posisi yang penting
diantara perselisihan SARA yang arak belakangan ini. Dengan segala potensi yang
ada, SARA juga sangat rentan untuk ditunggangi oleh berbagai kepentingan, baik
itu persialan pribadi, antar golongan dalam masyarakat baik melibatkan agama
atau ekonomi hingga rebutan kursi di panggung politik. Berbagai kasus
pertikaian yang terjadi sepanjang Pilkada DKI serta kerusuhan sampang baru-baru
ini, adalah contoh kecil betapa maraknya persoalan SARA diantara kita.
Satu
sisi, bisa jadi ada pihak yang menganggap pengharapan dan apresiasi saya
terhadap kedua film tersebut berlebihan. Namun diantara maraknya pemberitaan
yang meneybutkan konfflik horizontal yang berkedok SARA, mau tidak mau
menjadikan film ini menduduki posisi yang penting.Bagimana menanamkan penghargaan
terhadap keberagaman pada anak-anak, sejak dini.
Terlepas
berbagai kekurangan teknis serta lesunya iklim perfilman sehingga masih
relative sedikit penonton yang menyaksikan Berandal dan rumah, namun kedua film
tersebut semoga mampu jadi pendorong untuk pembuat film untuk terus melahirkan
karya-karya yang tidak saja menghibur tapi juga mengandung pesan sosial, yang
syukur-syukur mampu menyuntik masyarakat penonton untuk berperilaku positif.
Saat
ini, kedua film tersebut masih diputar.Belum terlambat jika anda bersama
keluarga menyaksikan kedua film tersebut.
Selamat
menyaksikan.
Jumat, 31 Agustus 2012
Symphaty untuk mereka yang tidak mampu menyembuhkan diri sendiri
Symphathy for Delicious
Ingin pengalaman menonton film yang beda dari biasa ? Sekali-kali jangan cari film yang memang New release atau dianggap laris karena banyak penontonnya. Coba lah menonton film yang,"Judulnya lucu"... atau"Ha?si anu jadi sutradara ?bukannya dia bintang film ? kayak apa, ya ?" dan banyak alasan lainnya.
Baru-baru ini, saya menyewa,-(ya menyewa! ) film berjudl Symphathy for Delicious.Alasannya ?ya seperti saya sebut diatas, judulnya lucu dan yang menyutradarai Mar Rufalo,-yang selama ini saya tahunya dia membintangi sejumlah film., seperti (Kids are allright, Rumor has it). Ternyata, Symphaty ini memang debutnya dalam menyutradarai. Kayak apa ya filmnya ?apalagi di cover DVD tertulis film ini memenangkan Penghargaan special Jury pada Sundance Film Festival.
Film dibuka dengan aksi penyembuhan yang kerap dipertunjukan dalam ibadah agama. tertentu. Dean O' Dwyer seorang DJ yang datang menggunakan kursi roda lantaran kakinya tak lagi berfungsi akibat kecelakaan, hadir dengan harapan dapat disembuhkan. Namun ternyata ia tidak'terpilih'. ia pun pulang dengan gundah.
Ditengah jalan ia bertemu dengan seorang gelandangan yang sedang sakit. Karena terus memanggilnya, Dean pun menghampiri dan mengusap kepala gelandangan tersebut. Lalu meninggalkannya. Keesokan harinya, gelandangan tersebut mencari-cari Dean, karena ia mendadak sembuh. "Kamu telah menyebuhkan saya !"
Awalnya Dean tidak percaya dengan kemampuannya. Namun setelah melalui bimbingan Father Joe, ia pun mulai mempercayai. Satu persatu gelandangan yang selama ini memang diasuh oleh Father Joe, disembuhkan oleh Dean.Masalahnya, Dean tidak mampu menyembuhkan ddirinya sendiri dari kelumpuhan.
Dalam hati saya berpikir, jika saya sebagai Dean, apa ya rasanya ?ia mampu menyebuhkan siapa saja dari penyakit apa saja, namun ia tetap lumpuh dan menggelandang. Maklum, Father Joe tidak memperbolehkan Dean mengambil uang dari kemampuannya menyembuhkan >"Kamu tidak bisa mengambil uang dari berkah Tuhan.Adalah Tuhan yang menyembuhkan" kata Father Joe.
Frustasi dengan yang ia hadapi, akhirnya ia meninggalkan pusat penyembuhan gelandangan tersebut. Ia bergabung dengan sebuah grup musik Rock dan tampil 'menyembuhkan' penonton pada sela-sela konser. Semakin lama, Dean justru makin dinantikan ketimbang musik Rock itu sendiri.
Hingga suatu ketika, salah satu personil Band tersebut roboh ditengah berlangsungnya konser. Dean yang saat itu sedang 'praktek', berusaha menyembuhkan.Namun terlambat.Ia telah meninggal.
Dean pun diadili dengan tuduhan membohongi publik dengan kemampuannya menyebuhkan ditambah lagi dianggap penyebab kematian dari musisi yang robioh di panggung. "Seharusnya anda menyerahkan pada dokter, sehingga tidak terlanbat dan mengakibatkan kematian.Namun anda malah pura-pura mengobati dan berujung kematian" desak Jaksa di pengadilan.
Father Joe yang dihadirkan sebagai saksi, sebetulnya menjadi harapan Dean untuk terbebas. Namun ketika ditanya, apakah benar Dean mampu enyembuhkan, Father Joe menjawab<"Adalah tuhan yang mampu".
Ironis,tragis sekaligus miris. Bagaimana kehidupan seseorang bisa turun, naik bahkan terjungkir hingga berakhir di penjara/ Akhir ? sebetulnya film ini belum berakhir ketika Dean di penjara.
Keunggulan dari film ini adalah kemampuan menggulirkan sebuah cerita yang menarik, unik sekaligus menggugah. Walau berlatyar belakang agama tertentu, namun banyak nilai-nilai yang sebut saja 'universal'.Permainan akting Mark Rufalo sebagai father Joe, dengan tetap kalem ia berhasil menunjukan ekspresi emosi kemarahan, kegembiraan dan ambiguitas dalam dirinya,-ketika godaan 'menggunakan dean' untuk kebutuhannya sebagai Father terus datang.
Christhoper Thorton, yang sepanjang film nyaris bermain berkursi roda sesekali mampu memancing senyum dengan komentar sinis terhadap 'nasib' yang menimpa dirinya, sekaligus mengundang symphathy lantaran mampu menyembuhkan siapa saja kecuali diri sendiri. kalaupun ada catatan, lebih pada wardrobe dan make up, yang entah kenapa tetap menampilkan Dean tampak kumuh, bahkan ketika sudah bergabung dengan grup Rock yang memperkaya dirinya.
ending film ini ditutup dengan manis. Dean, berjalan dengan kursi rodanya di sepanjang jalan sepi, dengan iringan lagu,"i Started a Joke-Bee Gees'...I started to cry, which started the whole world laughing,
Oh, if I'd only seen that the joke was on me....
...entah apa yang membuat saya tersenyum sekaligus mendadak memiliki antusias untuk berbagi dengan menulis lagi. semoga bermanfaat dan terima kasih D, yang telah membuat saya kemabli antusias menulis ;p
Ingin pengalaman menonton film yang beda dari biasa ? Sekali-kali jangan cari film yang memang New release atau dianggap laris karena banyak penontonnya. Coba lah menonton film yang,"Judulnya lucu"... atau"Ha?si anu jadi sutradara ?bukannya dia bintang film ? kayak apa, ya ?" dan banyak alasan lainnya.
Baru-baru ini, saya menyewa,-(ya menyewa! ) film berjudl Symphathy for Delicious.Alasannya ?ya seperti saya sebut diatas, judulnya lucu dan yang menyutradarai Mar Rufalo,-yang selama ini saya tahunya dia membintangi sejumlah film., seperti (Kids are allright, Rumor has it). Ternyata, Symphaty ini memang debutnya dalam menyutradarai. Kayak apa ya filmnya ?apalagi di cover DVD tertulis film ini memenangkan Penghargaan special Jury pada Sundance Film Festival.
Film dibuka dengan aksi penyembuhan yang kerap dipertunjukan dalam ibadah agama. tertentu. Dean O' Dwyer seorang DJ yang datang menggunakan kursi roda lantaran kakinya tak lagi berfungsi akibat kecelakaan, hadir dengan harapan dapat disembuhkan. Namun ternyata ia tidak'terpilih'. ia pun pulang dengan gundah.
Ditengah jalan ia bertemu dengan seorang gelandangan yang sedang sakit. Karena terus memanggilnya, Dean pun menghampiri dan mengusap kepala gelandangan tersebut. Lalu meninggalkannya. Keesokan harinya, gelandangan tersebut mencari-cari Dean, karena ia mendadak sembuh. "Kamu telah menyebuhkan saya !"
Awalnya Dean tidak percaya dengan kemampuannya. Namun setelah melalui bimbingan Father Joe, ia pun mulai mempercayai. Satu persatu gelandangan yang selama ini memang diasuh oleh Father Joe, disembuhkan oleh Dean.Masalahnya, Dean tidak mampu menyembuhkan ddirinya sendiri dari kelumpuhan.
Dalam hati saya berpikir, jika saya sebagai Dean, apa ya rasanya ?ia mampu menyebuhkan siapa saja dari penyakit apa saja, namun ia tetap lumpuh dan menggelandang. Maklum, Father Joe tidak memperbolehkan Dean mengambil uang dari kemampuannya menyembuhkan >"Kamu tidak bisa mengambil uang dari berkah Tuhan.Adalah Tuhan yang menyembuhkan" kata Father Joe.
Frustasi dengan yang ia hadapi, akhirnya ia meninggalkan pusat penyembuhan gelandangan tersebut. Ia bergabung dengan sebuah grup musik Rock dan tampil 'menyembuhkan' penonton pada sela-sela konser. Semakin lama, Dean justru makin dinantikan ketimbang musik Rock itu sendiri.
Hingga suatu ketika, salah satu personil Band tersebut roboh ditengah berlangsungnya konser. Dean yang saat itu sedang 'praktek', berusaha menyembuhkan.Namun terlambat.Ia telah meninggal.
Dean pun diadili dengan tuduhan membohongi publik dengan kemampuannya menyebuhkan ditambah lagi dianggap penyebab kematian dari musisi yang robioh di panggung. "Seharusnya anda menyerahkan pada dokter, sehingga tidak terlanbat dan mengakibatkan kematian.Namun anda malah pura-pura mengobati dan berujung kematian" desak Jaksa di pengadilan.
Father Joe yang dihadirkan sebagai saksi, sebetulnya menjadi harapan Dean untuk terbebas. Namun ketika ditanya, apakah benar Dean mampu enyembuhkan, Father Joe menjawab<"Adalah tuhan yang mampu".
Ironis,tragis sekaligus miris. Bagaimana kehidupan seseorang bisa turun, naik bahkan terjungkir hingga berakhir di penjara/ Akhir ? sebetulnya film ini belum berakhir ketika Dean di penjara.
Keunggulan dari film ini adalah kemampuan menggulirkan sebuah cerita yang menarik, unik sekaligus menggugah. Walau berlatyar belakang agama tertentu, namun banyak nilai-nilai yang sebut saja 'universal'.Permainan akting Mark Rufalo sebagai father Joe, dengan tetap kalem ia berhasil menunjukan ekspresi emosi kemarahan, kegembiraan dan ambiguitas dalam dirinya,-ketika godaan 'menggunakan dean' untuk kebutuhannya sebagai Father terus datang.
Christhoper Thorton, yang sepanjang film nyaris bermain berkursi roda sesekali mampu memancing senyum dengan komentar sinis terhadap 'nasib' yang menimpa dirinya, sekaligus mengundang symphathy lantaran mampu menyembuhkan siapa saja kecuali diri sendiri. kalaupun ada catatan, lebih pada wardrobe dan make up, yang entah kenapa tetap menampilkan Dean tampak kumuh, bahkan ketika sudah bergabung dengan grup Rock yang memperkaya dirinya.
ending film ini ditutup dengan manis. Dean, berjalan dengan kursi rodanya di sepanjang jalan sepi, dengan iringan lagu,"i Started a Joke-Bee Gees'...I started to cry, which started the whole world laughing,
Oh, if I'd only seen that the joke was on me....
...entah apa yang membuat saya tersenyum sekaligus mendadak memiliki antusias untuk berbagi dengan menulis lagi. semoga bermanfaat dan terima kasih D, yang telah membuat saya kemabli antusias menulis ;p
Rabu, 11 Januari 2012
menjegal Film Indonesia
Dissecting the Indonesian Film Industry
People in the world of filmmaking, be they industry professionals, scholars or eager fans, have had copious and meaningful dialogue about the industry, ranging from the gossipy to the academic. But never have these discussions been dissected and organized into a concise record. While several books have been written about the Indonesian film industry, the analysis often fails to examine the multitude of problems faced by Indonesian filmmakers.
But a new book, “Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia” (“Trampling Down Indonesian Films: Mapping the Political Economy of the Indonesian Film Industry”) offers a systematic study of the industry. The four authors call the “tramplers” the various government institutions that have their fingers in the industry, such as the ministries, the censorship board and tax office, as well as film investors (producers and financiers) involved in the business. “Menjegal Film Indonesia” maps the history of Indonesian film versus Hollywood, the local production process, financing, distribution issues, film exhibitions and sexuality.
In the 1980s, sex in film was not just a cultural issue, but also exposed shortcomings in the country’s censors, especially when they collided with economics, or profit. In 1986, “Ketika Musim Semi Tiba” (“When the Spring Comes”) starring ’80s bomb shell Meriam Belina inspired protests from film critics and filmmakers, questioning if the Board of Film Censorship (BSF) had neglected their duties, and let some inappropriate scenes go uncensored.
Film producer Gope T. Samtani admitted that the sex scenes became an important element to attract viewers, saying his production house featured sexual content in at least 10 percent of the scenes in the controversial film.
Rumors circulated about how the film’s producer reportedly bribed some members of the BSF. In its defense, the board (now known as the Film Censorship Body or LSF), conceded that they made “compromises” because they valued the investments made in the film. In fact, the Board claimed that they wanted to support and foster the Indonesian film industry.
“Menjegal Film Indonesia” quotes the late and prominent director Nyak Abbas Akup, who said that sex and sadistic scenes often defined the success of a film. The director, who passed away in 1991, was largely known for working with Indonesia comedy stars and bombshell actresses for his films such as “Inem Pelayan Sexy” (“Inem the Sexy Housemaid”) “Bing Slamet” “Boneka Dari Indiana” (“A Doll from Indiana”) and “Cintaku Di Rumah Susun” (“My Love at the Apartment”).
Of course, sex scenes have become a common recipe, and are sprinkled into most genres, from horror to comedy. But there are exceptions to the rules as well, and many filmmakers have proven that they do not need to show flesh or employ petty romances to make their films watchable.
The book also meticulously documents how heavy taxes levied by the government on aspiring filmmakers have made it difficult for local filmmakers to produce quality films because of the layers of costs associated with them. For instance, to shoot in a public space, there is tax to be paid.
Consequently, imported films from Hollywood, Bollywood and the Mandarin market always outnumber locally made films.
The book’s four authors are prominent figures in cinema and are all researchers at Rumah Film, a non-profit group that primarily working on film and cultural issues.
Co-writer Eric Sasono is a communications consultant , and secretary at Masyarakat Mandiri Film which organizes the Jakarta International Film Festival (Jiffest). Eric is also an honorary member of the Hong Kong-based Asia Film Award, and has been a judge in some international film festivals as well.
Ekky Imanjaya, holds two master’s degrees, one in philosophy from the University of Indonesia, and one in film studies from Universitet Van Amsterdam in the Netherlands. Ekky teaches at Bina Nusantara University’s film school, and wrote several books including “A to Z About Indonesian Film,” and “The Backdoors of Jakarta: Jakarta and Its Social Issue in Post-Reform Indonesia Cinema.” Recently, Ekky has completed a documentary on musicians Tielman Brothers.
Author Hikmat Darmawan is no stranger to comic lovers and pop culture enthusiasts, and is an important critic in both these media branches. He was a fellow at the Asian Public Intellectual, and has researched the thriving comedy subculture in Indonesia, Japan and Thailand.
Author Ifan Adriansyah Ismail is a script writer for Wahana Penulis, a syndicate for television drama scripts.
The authors said it took them eight months to write the 370-page book. “Menjegal Film Indonesia” is filled with graphics and tables but has no photos of actors or scenes from movies, a curious choice given that the subject matters are films, movie stars and producers from a bygone era. The no frills appearance of the book gives it the feel of an academic research paper.
However, the book does not use scholarly language that would put it on an academic pedestal. “Menjegal Film Indonesia” is accessible to the layman, and reads easily.
For those who work in the industry or are simply fans of the movies, “Menjegal Film Indonesia” is a must-read that reveals what has happened to the industry, and how “invisible” hands control and eventually “trample” on it, creating barriers for Indonesia’s brightest filmmakers.
Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia
Eric Sasono et. al.
Jointly published by Rumah Film & Tifa Foundation
370 pages
August 2011
Rumah Film
Jl. Puskesmas No 99,Setu Cipayung, East Jakarta
redaksi@rumahfilm.org
The book is in Indonesian, and available only by request to the publisher.
But a new book, “Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia” (“Trampling Down Indonesian Films: Mapping the Political Economy of the Indonesian Film Industry”) offers a systematic study of the industry. The four authors call the “tramplers” the various government institutions that have their fingers in the industry, such as the ministries, the censorship board and tax office, as well as film investors (producers and financiers) involved in the business. “Menjegal Film Indonesia” maps the history of Indonesian film versus Hollywood, the local production process, financing, distribution issues, film exhibitions and sexuality.
In the 1980s, sex in film was not just a cultural issue, but also exposed shortcomings in the country’s censors, especially when they collided with economics, or profit. In 1986, “Ketika Musim Semi Tiba” (“When the Spring Comes”) starring ’80s bomb shell Meriam Belina inspired protests from film critics and filmmakers, questioning if the Board of Film Censorship (BSF) had neglected their duties, and let some inappropriate scenes go uncensored.
Film producer Gope T. Samtani admitted that the sex scenes became an important element to attract viewers, saying his production house featured sexual content in at least 10 percent of the scenes in the controversial film.
Rumors circulated about how the film’s producer reportedly bribed some members of the BSF. In its defense, the board (now known as the Film Censorship Body or LSF), conceded that they made “compromises” because they valued the investments made in the film. In fact, the Board claimed that they wanted to support and foster the Indonesian film industry.
“Menjegal Film Indonesia” quotes the late and prominent director Nyak Abbas Akup, who said that sex and sadistic scenes often defined the success of a film. The director, who passed away in 1991, was largely known for working with Indonesia comedy stars and bombshell actresses for his films such as “Inem Pelayan Sexy” (“Inem the Sexy Housemaid”) “Bing Slamet” “Boneka Dari Indiana” (“A Doll from Indiana”) and “Cintaku Di Rumah Susun” (“My Love at the Apartment”).
Of course, sex scenes have become a common recipe, and are sprinkled into most genres, from horror to comedy. But there are exceptions to the rules as well, and many filmmakers have proven that they do not need to show flesh or employ petty romances to make their films watchable.
The book also meticulously documents how heavy taxes levied by the government on aspiring filmmakers have made it difficult for local filmmakers to produce quality films because of the layers of costs associated with them. For instance, to shoot in a public space, there is tax to be paid.
Consequently, imported films from Hollywood, Bollywood and the Mandarin market always outnumber locally made films.
The book’s four authors are prominent figures in cinema and are all researchers at Rumah Film, a non-profit group that primarily working on film and cultural issues.
Co-writer Eric Sasono is a communications consultant , and secretary at Masyarakat Mandiri Film which organizes the Jakarta International Film Festival (Jiffest). Eric is also an honorary member of the Hong Kong-based Asia Film Award, and has been a judge in some international film festivals as well.
Ekky Imanjaya, holds two master’s degrees, one in philosophy from the University of Indonesia, and one in film studies from Universitet Van Amsterdam in the Netherlands. Ekky teaches at Bina Nusantara University’s film school, and wrote several books including “A to Z About Indonesian Film,” and “The Backdoors of Jakarta: Jakarta and Its Social Issue in Post-Reform Indonesia Cinema.” Recently, Ekky has completed a documentary on musicians Tielman Brothers.
Author Hikmat Darmawan is no stranger to comic lovers and pop culture enthusiasts, and is an important critic in both these media branches. He was a fellow at the Asian Public Intellectual, and has researched the thriving comedy subculture in Indonesia, Japan and Thailand.
Author Ifan Adriansyah Ismail is a script writer for Wahana Penulis, a syndicate for television drama scripts.
The authors said it took them eight months to write the 370-page book. “Menjegal Film Indonesia” is filled with graphics and tables but has no photos of actors or scenes from movies, a curious choice given that the subject matters are films, movie stars and producers from a bygone era. The no frills appearance of the book gives it the feel of an academic research paper.
However, the book does not use scholarly language that would put it on an academic pedestal. “Menjegal Film Indonesia” is accessible to the layman, and reads easily.
For those who work in the industry or are simply fans of the movies, “Menjegal Film Indonesia” is a must-read that reveals what has happened to the industry, and how “invisible” hands control and eventually “trample” on it, creating barriers for Indonesia’s brightest filmmakers.
Menjegal Film Indonesia: Pemetaan Ekonomi Politik Industri Film Indonesia
Eric Sasono et. al.
Jointly published by Rumah Film & Tifa Foundation
370 pages
August 2011
Rumah Film
Jl. Puskesmas No 99,Setu Cipayung, East Jakarta
redaksi@rumahfilm.org
The book is in Indonesian, and available only by request to the publisher.
Langganan:
Postingan (Atom)