Jumat, 24 Juni 2011

interview seputar tips menulis dariAgus Noor

Friday, June 24, 2011

Tips Menulis dari Agus Noor

pernah dimuat,maj Area)
Agus Noor
Pentingkan Menulis Ketimbang Pacaran
Sebagai penulis Cerpen,karyanya telah tersebar di sejumlah media.bahkan beberapa telah dibukukan dan mendapat perhatian yang cukup besar dari berbagai kalangan.Beberapa diantaranya adalah Selingkuh Itu Indah,Potongan cerita di Kartu Pos dan yang terbaru Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia. Ia juga menulis naskah lakon panggung, seperti sejumlah pentas Monolog yang dibawakan ‘Raja Monolog” Butet Kartadjasa, Republik Dagelan, Beta Maluku dan yang akan datang, Kartolo Mbalelo.
Karyanya dikenal mampu mengemas persoalan sosial,keseharian bahkan hal absurd sekalipun menjadi sajian yang menyentuh, enak dibaca, beberapa diantaranya malah berhasil memancing tawa.
Dengan Iwan Setiawan, Ia berbagi rahasia dalam melahirkan karya jitu :
Rahasia dalam mencari ide ?
Saya terbiasa mencatat ide-ide yang berkelebatan dalam kepala saya. Sejak punya buku catatan (notes book) yang selalu saya bawa kemana-mana. Di buku itulah, saya mencatat apa saja yang menurut saya menarik. Sebuah kata, kelebatan ide cerita, pembukaan cerita, judul, ending cerita yang saya anggap menarik, sampai sebuah peristiwa dan lain-lain. Saya menganggap itu sebagai: tabungan ide.
Caranya ‘menyulap’ sekelebatan ide menjadi karya hebat ?
Nah, ketika datang waktu menulis, saya “tinggal membuka buku tabungan ide” itu, saya pilah dan pilih, mana yang menarikSaya juga memiliki jadwal menulis yang tetap.
Saya menulis minimal 6 jam setiap hari. Sebulan saya harus menghasilkan tulisan minimal 4. Jadi kalau dalam satu bulan saya menulis di bawah target itu, saya menganggapnya hutang, yang harus saya penuhi di bulan berikutnya
Apa yang saya tulis, mungkin “belum jadi” atau tidak memuaskan saya, tapi setidaknya saya sudah mendisiplinkan diri. Dan tulisan yang saya anggap “belum bagus” itu, akan saya simpandalam file lebih dulu, untuk di waktu yang lain, saya tulis ulang, revisi, kembangkan hingga memuaskan.
Mengatasi ‘macet’ di kala menulis ?
Saya cenderung menganggap itu sebagai “kemalasan”. Maksud saya, dengan “buku tabungan ide” yg saya miliki, saya relative tidak pernah kehabisan ide ketika berhadaan dengan komputer: selalu bisa geber langsung, menulis. Menulis. Menulis. Nah, masalah utama saya justru ada di: rasa malas. Ide sudah ada, saya tahu apa yang akan saya tulis, tetapi saya tak terdorong ingin menulis. Tapi malah sibuk main spider solitere hehehe. Nah, ini yang saya anggap berbahaya, setidaknya bagi saya.
Kalau saya menghadapi itu, biasanya saya akan coba rileks. Membaca hal-hal yang berkaitan dengan tema apa yang saya tulis itu, termasuk meng ‘google’ hal yang bisa memancing gairah saya untuk mebali menulis.
Anda menulis Cerita Pendek, juga naskah panggung. Bagaimana anda menyikapi keduanya ?
Dalam menulis, saya cenderung membaginya menjadi sua hal: tulisan ekspresif yang bersifat pribadi (saya menyebutnya sebagai “poyek estetis pribadi”), dan tulisan pekerjaaan.
Pada yang pertama, saya menulis karena saya ingin menuliskan apa yang meneurut saya bagus, aatau karna saya punya gagasan estetis cerita. Ini yang banyak saya lakukan ketika saya menulis cerpen.
Pada yang kedua, saya menulis karena memang ada kerjaan yang harus saya tuliskan. Beberapa naskah saya, pada tingkat tertentu ada yang saya tulis berdasarkan kesepakatan seperti itu, misalnya soal tema. Tetapi ada juga yang saya tulis, karena memang saya punya gagasan estetis itu. Tapi biasanya, dalam naskah pangung, selalu ada kompromi, ketika nantinya hendak diwujudkan dalam pangggung. Makanya saya menyebutnya sebagai “proyek estetis bersama”
Cara melatih diri agar lancar menulis ?
Tetapkan jadwal kapan mau menulis,pasang target berapa lama dan banyak membaca. Di sela-sela itu, mencatat apa saja.Terakhir, jadikan berlatih menulis lebih penting dari pacaran hahaha

Minggu, 05 Juni 2011

FILM PUPUS cinta Bersemi d Kampus

dimuat majalah GARUDA inflight

Film

Bersemi di Kampus

Lewat film Pupus, Rizal Mantovani kian menegaskan fokusnya di genre drama remaja. Kisahnya sederhana, tapi tata artistiknya bagus. Oleh Iwan Setiawan

Pada akhir 70-an, film-film dengan latar kehidupan kampus sempat marak di Indonesia. Beberapa di antaranya yang berhasil mendulang sukses, baik secara artistik maupun jumlah penonton, adalah Cintaku Di Kampus Biru (1976) dan Badai Pasti Berlalu (1977).
Sukses memulai demam horor lewat Jelangkung, sutradara Rizal Mantovani kini mencoba mengembalikan genre film kampus lewat film Pupus.
“Tidak ada salahnya belajar dari sejarah Jelangkung, salah satu film horor terlaris yang idenya diambil dari film horor Indonesia tempo dulu. Maka saya optimis juga bisa membuat film tema kampus di masa kini dan sukses seperti dulu,” ujar Rizal.
Film dibuka dengan ingar-bingar kehidupan di sebuah universitas favorit di Jakarta saat berlangsungnya penerimaan mahasiswa baru. Di sini kita diperkenalkan pada sosok Cindy (Donita), mahasiswi asal Lampung yang nekat berkuliah di Jakarta meski dilarang ibunya.
Para senior kemudian menyuruhnya mencari mahasiswa lain yang memiliki tanggal ulang tahun sama dengannya, lalu mengajaknya merayakan hari kelahiran bersama. Muncullah sosok kedua yang bernama Panji (Marcel Chandrawinata), mahasiswa yang cenderung menghindari pesta ulang tahun.

Cindy cantik, Panji rupawan. Sampai di sini, jalan cerita mudah ditebak: Cindy dan Panji menjalin cinta. Konflik muncul ketika Panji justru menghindar dan tidak pernah menyatakan langsung perasaannya, bahkan ketika Cindy berpaling pada pria lain. Hingga akhirnya Cindy memutuskan untuk fokus pada kuliah sekaligus membuktikan dirinya bukan gadis manja asal daerah yang memburu cinta di kota besar. Adegan tarik-ulur perasaan di antara kedua remaja ini jadi bumbu drama yang mengocok hati penonton.
Film ini sukses menjadikan kehidupan kampus latar yang hidup.
Dalam durasi 90 menit, sutradara menguraikan kehidupan lima tahun para tokohnya, mulai dari pendaftaran mahasiswa hingga lulus. Perhatian kru artistik terhadap detail layak diacungi jempol. Kita bisa menyaksikan perubahan potongan rambut, gaya berbusana, maupun pendewasaan emosi pada para tokoh film.
Alur film yang ditulis Alim Sudio ini juga mengalir mulus dengan plot yang mudah diikuti.
Dialognya cukup menyentuh dan tidak murahan. Pupus adalah karya kedua Alim Sudio bersama Rizal Mantovani. Sebelumnya mereka menggarap drama berjudul Ada Kamu, Aku Ada. “Menyajikan sesuatu yang sederhana bukan berarti gampangan. Karena naskah cerita ini sempat mengalami beberapa kali pembongkaran serta melewati tes kelayakan yang ketat, demi menjadikan film ini riil, sekaligus dramatis,” tutur Alim.
Rizal mengklaim, film yang judulnya diambil dari lagu grup musik Dewa ini hanya memiliki satu tujuan: menghibur para remaja. Maklum, segmen ini adalah penonton film nasional yang paling setia. Meski begitu, Rizal tak lupa menyisipkan pesan-pesan positif yang simpel bagi penonton.
”Ini memang film hiburan,” ujarnya. ”Namun bukan berarti tanpa pesan.”