Jumat, 08 April 2011

Catatan Ringan, Lawatan ke Singapura


Sebetulnya agak norak dan malu-maluin, bikin catatan mengenai kunjungan ke Singapura. Tapi ketika note ini dibuat, jam 12, saya sudah harus chek out dari hotel dan uang di kantong tinggal cukup untuk naik MRT ke bandara, padahal pesawat baru akan terbang jam 21.20. Jadi setidaknya saya punya waktu 6-7 jam ! ngapain coba ? saya coba menulis, silahkan menikmati :

Saya ke Singapura, bersama sebuah rombongan yang cukup besar jumlahnya. Tidak kurang 100 orang bersama kami, terbang ke Singapura. Tujuannya sih, nonton musikal Lion King, yang pentas di Marnina Bay. Maklum, saya berangkat bersama rombongan EKI Dance Company, sebuah grup seni yang sudah terkenal rajin  mementaskan sejumlah musikal di tanah air.

Kami sudah tiba tanggal &, lalu menyaksikan Lion King pada tanggal 8 dan pulang ke tanah air, tanggal 10. Jadi selaiin menyaksikan Musikal Lion King kami punya cukup waktu untuk jalan-jalan.Walau bukan berarti punya cukup waktu untuk belanja-belanja.



 Tragedi Museum

Setiba di Singapura, rombongan kami langsung terpecah.Para pemburu  barang bermerk sambil harap-harap ada discount, langsung menuju Orchard. Ada juga yang cukup tahu diri, langsung ke bugis street. Ketika saya tanya tempat apa itu,  seorang teman menyebutnya "Kayak ke Blok M, tapi di Singapura !".

Hmmm...saya bingung. Mau ikut rombongan mana. Belanja barang merk? Sediscount-discountnya, kayaknya saya ga cukup punya uang untuk belanja. Sedangkan jika ke Bugis street, ngapaiin juga harus ke 'Blok M', kalau dah nyampe Singapura ?

"Kamu mau pergi sebuah tempat yang tidak membuat kamu harus belanja? Datanglah ke museum!". Walau teman saya menyarankan dengan nada bercanda, saya tanggapi dengan serius tawaran tersebut. Maka, saya ke National Museum of Singapore. Setelah membujuk beberapa teman bagian dari rombongan, akhirnya bersama 9 (sembilan) orang teman, kami ke museum .

Sepanjang jalan, kami sebetulnya merasa aneh. Ke Singapore? ke Museum? sudahlah!

Setiba di halaman museum, kami tentu saja foto-foto. Ketika mulai memasuki gedung, kami celingukan mencari informasi. Mulai dari masuknya lewat mana dan apakah perlu bayar?. Ternyata masuknya perlu bayar 10$. "Wah, alamat ga makan siang nih" seorang teman nyeletuk . Ada lagi yang lain bilang, "Kalau ke Bugis Street, dapat 3 (tiga) jam tangan nih". Tapi kami tetap bayar dan masuk ke Museum tersebut.

Kebetulan saat kami masuk, ada program keliling museum yang ditemani seorang guide. Tentu saja kami sangat antusias.Walaupuun untuk mengerti perkataan guidenya kami perlu kerja keras. Selain menggunakan singlish, guide tersebut juga sudah tua, sehingga volume suaranya tidak keras. Apalagi tidak menggunakan pengeras suara. Padahal selain kami, juga ada turis lain.

Awalnya, semua berjalan baik dan sangat menarik. Walau sebetulnya barang yang di pamerkan tidak begitu istimewa, beberapa adalah replika, namun design display yang sangat baik telah membuat kami terpesona. Mulai dari sejumlah lampu hias yang bergerak sesuai irama, tumpukan sepeda yang dibuat macam seni instalasi, ketika menjelaskan bagaimana bangsa Jepang masuk ke Singapore hingga diorama dan film-film dokumenter yang sangat informatif.

Namun sesuatu terjadi. Ketika menjelaskan mengenai betapa Singapore memelihara hutan Bakau, sang Guide membandingkan dengan Indonesia."Di Indonesia, mangrove dihabiskan untuk dijadikan perumahan. Kami menjaganya. Bahkan menjadikannya lokasi wisata".

Saya sebetulnya mau membantah. Tapi rombongan lalu berjalan dan sepertinya kurang tepat.

Namun guide itu kembali berulah. Ketika menjelaskan mengenai bagaimana Singapore mengolah air bersih, kembali ia menyinggung Indonesia, "Indonesia mungkin punya lebih banyak air, tapi belum tentu mampu mengelola sebersih kami".

Salah seorang teman, langsung memotong dan menghardik dengan nada lumayan keras. "Kami keberatan dengan cara anda terus membandingkan Singapura dengan Indonesia. Kami ke museum ini bayar tiket untuk mengetahui dan menghormati sejarah negara anda. Bukan untuk mendengar hinaan anda. Paling tidak, kami tidak minum dari air kotor yang dikelola dari air kotoran ".

Saya juga ikut menambahkan, "Apa yang anda lakukan, menjelaskan sejarah Singapura, sudah bagus. Terima kasih, karena anda memang ahlinya. Dengan demikian anda tidak perlu menambahkan, apalagi membandingkan dengan Indonesia. Sangat tidak bijaksana".

Kami menyatakan keberatan tersebut dengan bahasa Inggris yang walau tidak lancar, namun sepertinya cukup bisa dipahami. Guide itu lalu mengatupkan tangan di dada dan berkata, "I'm Sorry, realy sorry". Ia mengucapkan hal tersebut berkali-kali.

Kami pun meninggalkan guide tersebut yang masih bersama rombongan lain.

Di luar museum, kami tertawa-tawa dan merasa bodoh sekali. Membayar 10$ hanya untuk dihina-hina. "Paling tidak, kita jadi makin bangga dengan Indonesia. Semoga guide tersebut juga mendapat 'pelajaran'.



Pelajaran dari Casiono

Tidak, saya tidak ke casino. Tapi teman-teman saya sempatt ke casino. Bahkan sampaii pulang pagi. Keesokannya, sambil sarapan, mereka bercerita kepada saya. Begini ceritanya :

Ketika naik taksi, kata teman saya yang juga baru pertama kali ke Singapura, supir taksinya bercerita mengenai orang-orang yang pergi ke casiono. "Ada yang pernah curang, lalu dipenjara. Sebetulnya itu masih untung. Karena ada juga yang tangan dan lidahnya dipotong, lalu dibuang" katanya dalam bahasa singlish.

Teman saya tenang saja. Karena toh ia tidak berniat curang, hanya lihat-lihat dan sesekali mencoba bertaruh.

Setiba di casino, teman saya melihat-lihat sekeliling. Lalu ia mendapati sebuah mesin dalam ke adaan 'on', namun tidak ada pemainnya. Iseng-iseng, ia memencet sebuah tombol. Dan mesin tersebut langsung bereaksi dan tertulis lah tanda Game Over di layar. Teman saya bingung.

Saat itu juga, seorang nenek tiba-tiba ada di samping teman saya sambil memegang secangkir kopi dan memarahi dengan bahasa mandarin."Walau saya tidak bisa mengerti, tapi saya yakin ia marah. Nadanya sangat tinggi dan tangannya menunjuk-nunjuk muka saya" kata teman saya.

Teman saya meminta maaf, lalu berlari ke mesin lainnya.

Setelah sempat bermain beberapa permainan, akhirnya uang 20$ yang ia jadikan modal dalam berjudi, habis. "Sebetulnya uang saya sempat menjadi seratusan gitu, tapi biasalah. Karena serakah, akhirnya modalnya pun habis".

"Kenapa kamu tidak berhenti ketika menang ?"

"Saya baru pertama kali main, kalau langsung menang, nanti dikira curang. Saya tidak mau tangan saya hilang di Singapura....ah ada-ada saja...

Sementara ini, saya sudahi sampai di sini ya...nanti saya sambung lagi. Kalau banyak yang komentar, bilang bagus atau apa gitu, hehehe....nanti saya sambung lagi salam !





2 komentar:

  1. Baca tulisanmu, bikin gw ingat Spore lg. Gw merasa semakin beruntung tinggal di Indonesia. Bayangin aja, di spore cm 3 hari, ud ga tau mau kemana lg. Coba kalo di Indonesia? Wuah, bisa berbulan2 bahkan bertahun2 untuk bisa keliling Indonesia.

    BalasHapus
  2. Aku sih memang pengen ke Spore, tapi lebih pengen difoto ala jadul gitu deh. Keren ya. Itu sih ga butuh tempat keren. Kamera dan fotografernya yang okey. Hehehehe. Kapan sang fotografer ada kunjungan ke S'baya (Surabaya maksudnya). Hihihihi ^_^

    BalasHapus